Rabu, 26 Desember 2012

pengalaman didesa

Awalnya aku dan Roso ngobrol ke sana-kemari. Obrolan makin seru  ketika topiknya masalah sex. Roso seumuran dengan ku sekitar 35 an.  Akhirnya kuketahui bahwa dia berasal dari Blora Jawa Tengah. Aku lalu  minta konfirmasi mengenai daerah Jepon, dekat Blora yang terkenal  sebagai gudangnya “ledek” penari Tayub. Aku pernah baca tulisan di  majalah yang mengungkapkan kehidupan para ledek di Jepon.  Dengan semangat Roso bercerita mengenai pengelanaannya ke Jepon.  Dia membenarkan bahwa memang Jepon adalah gudangnya penari  Tayub. “ Wah kapan ya kita bisa bareng ke sana,” aku setengah  bertanya ke Roso. “Wah kapan saja, kita bisa jalan bareng dan ambil cuti. Yang penting jangan musim hujan,” ujar Roso. Kami lalu menyepakati waktunya. Namun dia mengajukan syarat minta dibayari ongkos pulang pergi dari Jakarta ke Blora. Syarat itu tidak terasa memberatkan bagiku, karena banyak penerbangan murah dari Jakarta – Solo. Pada hari yang ditentukan pagi-pagi sekali kami sudah bertemu di Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan ke Solo tidak terlalu lama, karena sekitar jam 8 pagi pesawat sudah mendarat di Solo. Dari Bandara kami memesan taxi menuju terminal bus. Kami memang merencanakan jalan-jalan hemat, sehingga bus adalah pilihan untuk mencapai Blora. Sebelum memilih bus, kami sempat mengisi perut dengan soto di terminal. Wajah Roso berseri-seri. Dia kelihatan senang sekali dalam perjalanan pulang kampung kali ini. Berbagai promosi di ceritakan. Aku selalu menjawab “ tidak percaya, karena belum ada bukti” Jawaban itu memang bikin kesal Roso, tetapi semangatnya bercerita tidak kendur. Setelah terkantuk-kantuk di bus dalam perjalanan ke Blora, akhirnya kami sampai juga. Roso memberi tahu kondektur dimana kami akan turun. Setelah turun dari bus, Roso mengontak temannya yang di Jepon. Temannya itu menawarkan menjemput dengan sepeda motor. Tapi aku memilih naik angkutan saja, karena jarak ke Jepon lumayan jauh sekitar 14 km ke arah Cepu. Tidak sampai setengah jam kami sudah turun dari angkutan di sambut oleh beberapa ojek. Roso celingak-celinguk sebentar lalu membalas lambaian tangan temannya yang berdiri di depan warung. Kami lalu mendatangi warung. Perut belum terasa terlalu lapar, tetapi saatnya makan siang memang sudah hampir. Apalagi di warung itu aku melihat sop balungan dengan daun kedondong. Makanan ini sudah lama ku idam-idamkan karena aku pernah merasakannya ketika di Bojonegoro beberapa waktu lalu. Tawaran teman Roso aku ikuti. Jadilah kami menyeruput sop iga dengan rasa agak asam dan pedas. Rasanya segar sekali. Roso memperkenalkan temannya dan rupanya temannya membawa satu orang lagi yang juga baru dikenal Roso. Teman Roso mengatur aku dibonceng oleh teman baru Roso dan Roso dibonceng temannya. Kami masuk kampung sekitar perjalanan 10 menit masuk lebih jauh ke ke desa. Aku lupa apa nama desanya ketika kami berhenti di satu rumah disambut oleh seorang bapak dan istrinya. Perempuan yang diperkenalkan sebagai istri penyambut tadi lumayan cakep dan umurnya di sekitaran 30 tahun. Wajahnya manis khas orang desa dan badannya agak gempal dengan susu yang cukup besar. Menurut cerita Roso, para istri di kampung ini bisa menerima tamu, meski suaminya masih dirumah. Istilah Roso, “ngompreng”. Aku lantas berpikir, wanita itukah yang nanti akan menemani tidur. Lumayan juga kalau jadi pasanganku. Tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa rikuhnya, seandainya aku harus nginap di rumah itu lalu meniduri istri tuan rumah. “ Waduh gimana ya, aku lantas memainkan peran apa, mau berperan sebagai saudara, padahal baru kenal, sebagai tamu, tapi niduri istri orang sementara suaminya ada di situ,” batinku. Di tengah kegalauanku, kulihat Roso tidak merasa rikuh sedikitpun. Malah kesanku dia seperti mengunjungi rumah saudaranya yang lama tidak ketemu. Melihat Roso bertindak tidak canggung, aku pun terpaksa mengikuti gaya dan gerak-geriknya. Apalagi si tuan rumah yang suami nyonya rumah sudah berkali-kali menyilakan kami masuk. Kami duduk di ruang tamu. Seperti biasa basa-basi tuan rumah yang memperkenalkan diri dengan nama Sastro menanyakan kapan kami sampai dari Jakarta ? Naik apa dan sebagainyalah dengan pertanyaan standar berbahasa Jawa. Roso dengan lancar menjawab semua pertanyaan. Sebetulnya aku juga mau ikut menjawab, karena aku masih menguasailah bahasa Jawa, meskipun tidak selancar Roso. Tidak lama kemudian terhidang teh manis panas dengan singkong rebus dan kacang rebus. Sebetulnya aku berselera juga dengan hidangan itu, tetapi perut masih kenyang karena baru diisi. Nyonya rumah kemudian kuketahui bernama Rini. Dia ikut ngobrol dengan kami sambil duduk memangku nampan. Kami beramah tamah sekitar 10 menit lalu Roso berdiri dan menggamit aku untuk ikut keluar. Kami keluar rumah dan Roso memberi tahu bahwa dia yang akan memakai nyonya rumah ini. Aku sebenarnya ingin protes, karena aku juga berselera. Tapi protesku tak sampai terucap setelah Roso memberi jaminan bahwa cewek yang kelak akan bersamaku mutunya tidak kalah. Teman Roso yang ikut nimbrung malah memberi tahu bahwa pasanganku kelak jauh lebih bagus. Aku memang tidak bingung soal berapa nanti aku beri uang ke Nyonya rumah kalau menginap semalaman. Tapi melihat kondisi yang sebenarnya, informasi yang telah dikemukakan Roso jadi kurang meyakinkan, jadi aku tanya lagi. Yang menjawab bukan Roso, tetapi temannya. “ Lima ratus sudah banyak mas kalau di desa ,” katanya. Setelah pembicaraan singkat itu Roso menyilakan aku untuk meneruskan perjalanan dengan pembawa motor yang menggoncengku tadi. Aku pamit ke tuan rumah dan istrinya. Mereka sempat bertanya aku akan menginap di mana. Teman Roso lalu menunjuk pemboncengku. Pemboncengku memperkenalkan diri ketika bertemu di warung tadi dengan nama Kardi. Aku segera meluncur bersama Kardi. Roso dan temannya tinggal di rumah Sastro. Tidak sampai 5 menit Kardi menghentikan motornya di sebuah rumah yang letaknya agak masuk kedalam dan halamannya rimbun. “ Mari mas masuk, “ kata Kardi. Kardi dengan santainya masuk kerumah dan dia langsung masuk ke dalam sementara aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Gak lama kemudian Kardi keluar bersama perempuan yang berkulit putih, tidak kalah montoknya dengan istri Sastro. “ Mas perkenalkan istri saya,” kata Kardi. Sosok istri Kardi ini mengingatkanku pada profil penyanyi Jawa Sunyah Ni Seandainya aku sakit jantung, mungkin aku langsung pingsan, karena kaget. Ternyata si Kardi itu yang memboncengku akan menyerahkan istrinya untuk kutiduri. “ Oh istri sampeyan toh,” ucapku ketika menyalami istrinya yang memperkenalkan diri dengan suara lirih bernama Warni. “Mas santai aja mas anggap saja rumah sendiri, mana barangnya biar saya masukkan ke kamar,” Kardi berusaha memecahkan suasana rikuhku. Aku menyerahkan ranselku yang langsung di sambut Kardi dan membawanya ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan mengajakku masuk menunjukkan dimana kamar yang nanti akan menjadi tempatku menginap. Sebuah kamar yang sudah dirapikan dengan tempat tidur ukuran 160 terbuat dari besi dan diselubungi oleh kelambu. Kelihatannya spreinya baru diganti dengan motif batik. Ada meja rias dan ada lemari serta sebuah kursi makan di dalamnya. Kamarnya cukup luas. Kutaksir sekitar 3 x 4 m. Ada sebuah jendela dengan korden berwarna merah jambu yang menggantung hanya setengah tinggi jendela. “Apa mau istirahat dulu apa gimana, “ tanya Kardi. Aku tentu saja malu kalau baru datang langsung masuk kamar. Untuk mengatasi kerikuhanku aku menanyakan dimana kamar mandinya, karena mau buang air kecil. Kardi menunjukkan kamar mandi di belakang dekat dengan dapur. Di dalam kamar mandi itu ada ember plastik yang ukurannya agak besar, mungkin difungsikan sebagai bak mandi, lalu wc jongkok dan ember kecil di dekatnya. Lantainya dari semen. Uniknya kamar mandi ini tidak berpintu, hanya ditutup oleh korden terbuat dari plastik tenda berwarna biru. Jadinya korden kamar mandi itu tidak bisa menutup rapat, masih ada celah yang memungkinkan orang di luar bisa melihat siapa yang berada di dalam. Kalau yang mandi telanjang, pasti orang yang di luar bisa sekilas melihat juga. Tantangan makin seru, batinku dalam hati. Dari kamar mandi aku berpapasan dengan Warni yang kelihatannya baru menjerang air. Dia langsung bertanya, apakah aku mau dibuatkan kopi. Aku setuju lalu berjalan menuju ruang tamu. Di ruang tamu Kardi sedang duduk sambil menghisap rokok kretek, langsung mempersilakan aku duduk. Dari obrolanku, kuketahui Kardi mempunyai dua anak, yang pertama perempuan baru kelas 2 SMP dan yang kedua laki-laki baru kelas 4 SD. Kardi tanpa sungkan menceritakan bahwa istrinya adalah penari tayub, alias ronggeng. “ Sekarang susah mas, ledek gak sebebas dulu lagi, mereka harus punya sertifikat yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata. Kalau tidak ada sertifikat, tidak boleh manggung. Lagi pula narinya tidak sebebas dulu lagi, jadi ya yang mau naik panggung agak kurang minat. Makanya sekarang semakin jarang orang nanggap tayuban, Lha wong udah gak seru lagi,” kata Kardi. Kardi mengaku dalam sebulan terakhir ini istrinya baru dapat 3 kali manggung. “ Itu pun sawerannya gak banyak,” katanya. “Bayangin mas, nayub semaleman cuma dapat sejuta,” kata Kardi. Hatiku terus tergelitik ingin menanyakan gimana rasanya kalau istrinya aku tiduri. Sampai akhirnya waktunya kurasa tepat, kulepas pertanyaan yang bikin penasaran sejak aku berangkat dari Jakarta. “Ya gak apa-apa toh mas, disini sudah biasa ,” jawabnya sambil tertawa. Sebetulnya jawabannya itu sudah cukup tetapi aku masih penasaran, maksudnya gak apa-apa gimana itu . “Ya sebelum jadi istri saya dia kan juga sudah terbiasa sama laki-laki lain. Saya pun mau mengawini Warni kan berarti harus bisa menerima keadaannya, iya toh” kata Kardi. Dari obrolanku yang seru itu ku ketahui pula bahwa meski Warni boleh main dengan laki-laki lain , tetapi Kardi tidak boleh nyeleweng. Aneh juga ya. Penjelasan Kardi ternyata sederhana, “ Kalau laki-laki nyeleweng ongkosnya besar mas, tapi kalau istri nyeleweng, hasilnya lumayan mas,” kata Kardi sambil tertawa. Istrinya yang duduk di samping Kardi tersenyum malu sambil mencubit dan memukul bahu Kardi. Warni seperti umumnya wanita desa menggunakan kebaya dan jaritan. Belahan baju kebayanya sangat rendah sehingga buah dadanya yang terhimpit menampilkan pemandangan celah dan sedikit gundukan payudara. Kutaksir umurnya belum mencapai 30 tahun. Ternyata memang benar umurnya baru 28 tahun. Dia kawin dengan Kardi dengan status janda. Anaknya yang pertama hasil perkawinan dengan suaminya pertama. Dia dinikahi ketika masih umur 13 tahun, ketika itu katanya baru lulus SD. Tidak lama kemudian hamil dan lahirlah anak pertamanya yang perempuan. Kami ngobrol banyak bertiga sampai anaknya pulang sekolah. Seorang gadis kecil dengan seragam putih biru mendekat lalu menyalamiku dengan mencium tangan. “Diah oom,” katanya ketika kutanya namanya. Gadis manis baru tumbuh dengan rambut lurus sebahu. Dia lalu berlalu masuk ke belakang. Tidak lama kemudian datang lagi anak berseragam SD dan menyalami ku juga. Dia menyebut namanya Herman. Aku gundah juga rasanya. Memikirkan bagaimana keluarga ini lengkap dengan anaknya berdiam di satu rumah lalu menerima tamu yang kemudian tidur dengan ibunya. Mungkin benar juga kata pepatah “ alah bisa karena biasa” Kulirik jam di tangan menunjukkan jam 2 siang. Aku mengambil inisiatif mengeluarkan 4 lembar lima puluhan kuserahkan ke nyonya rumah. “ Ini untuk beli bahan makanan, untuk makan nanti malam,” kataku. Warni kelihatan bingung menerimanya. Suaminya juga terdiam sesaat. “Mas e mau makan apa toh kok uangnya banyak bener,” kata Warni. “Ah apa saja lah, kalau susah cari belanjaan ya belikan saja sate ayam, katanya sate Blora enak,” kataku memberi jalan. “Wah di desa sini gak ada yang jual sate,” kata sang istri. “ Wis tak golekne, gampanglah,” kata Kardi. Mereka berdua lalu masuk ke belakang. Mungkin mereka berembuk mau dibelanjakan apa uang itu. Tak lama kemudian Kardi keluar sudah mengenakan jaket. Dia permisi mau keluar cari makanan untuk nanti malam. Aku sekalian memesankan agar jangan lupa membeli kopi. Kardi berlalu dan Warni menemaniku di depan. “Mas e apa gak cape dari Jakarta kok belum istirahat, Kalau mau istirahat monggo nanti saya pijetin biar badannya lemes, “ kata Warni. Aku antara segan dan ingin juga menanggapi tawaran Warni. Akhirnya aku tidak bisa nolak setelah tanganku digandeng. Rasanya malu sekali, karena warni menggandengku masuk kamar sementara kedua anaknya melihat kami. Di dalam kamar aku diberi sarung dan aku mengganti pakaianku dengan kaus oblong. Rasanya setelah pakai sarung aku jadi kebelet buang air kecil. Aku permisi ke Warni ke kamar mandi. Di kamar mandi aku membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kamar nanti ya. Apa bisa eksekusi, atau aku harus menahan diri, karena waktunya sempit. Ah bagaimana nanti sajalah. Setelah buang air aku membersihkan seputar kelaminku dengan sabun sehingga bekas keringat di lipatan selangkanganku baunya harum sabun. Aku masuk kamar kulihat Warni sudah mengganti bajunya dengan hanya menggunakan kemben sarung. Buah dadanya jadi makin terlihat belahannya dan tonjolan ke atas. Kelihatannya dia tidak mengenakan BH di balik sarungnya. Baru membayangkan gitu saja senjataku langsung bereaksi. Aku diminta membuka kaus, sehingga tinggal sarung dan di dalamnya masih ada celana dalam. Aku langsung mengambil posisi telungkup. Warni memulai pijatan dari bahu menggunakan pelicin minyak kelapa yang dicampur dengan kayu putih. Harus diakui pijatannya mantep banget. Terlepas dari masalah birahi, tetapi pijatannya sudah sangat memuaskan. Otot yang kaku, katanya dia urut sampai rasanya nikmat sekali. Setelah bagian punggung, pinggang, Warni melonggarkan sarungku dan ditariknya ke bawah. Tangannya memijat bongkahan pantatku dan entah memang cara dia memijat begitu atau ada maksud lain, tetapi kedua ibu jarinya masuk ke dalam celana dalamku dan mengurut belahan pantatku sampai hampir mengenai biji. Sarungku ditarik kebawah dan dilepas. Giliran kedua kakiku merasakan urutan tangan lembutnya yang cukup bertenaga. Aku tinggal bercelana dalam. Warni mengangkangiku dia duduk di bongkahan pantatku. Aku merasa dia duduk di atas pahaku tanpa penghalang sarung. Posisi duduknya makin ke atas seiring dengan pijatan ke bahuku. Aku berkosentrasi bukan pada pijatannya yang memang sangat nikmat, tetapi aku mengerahkan konsentrasi ke syaraf perasa dipungungku. Rasanya Warni tidak mengenakan celana dalam, karena di punggungku terasa gerusan bulu-bulu jembut. Membayangkan itu, senjataku makin mengeras. Untung saja posisinya tadi tegak keatas, sehingga jika memuai tidak sampai menyakitkan. Aku masih menikmati gerusan bulu jembutnya di punggungku, Warni kemudian memintaku berbalik posisi menjadi telentang. Tanpa minta izin dariku, celana dalamku dia tarik kebawah dan dilepas dan digantung di balik pintu. Senjataku tegak mengeras. Warni senyum- senyum melihat senjataku siap tempur. Dia memijati kedua kakiku lalu merambat keatas sampai ke selangkangan dan dia berusaha tidak menyentuh bagian-bagian sensitif di selangkanganku. Mungkin juga karena tangannya sedang penuh dengan minyak kelapa yang bercampur minyak kayu putih. Bisa-bisa aku belingsatan ke pedesan jika larutan minyak kayu putih mengenai bagian vitalku. Warni kembali mengangkangiku dan selangkangannya langsung berhadapan dengan senjataku Aku merasa belahan memeknya berada tepat di batang penisku. Pantatnya maju mundur mengikuti gerakan pijatannya. Sensasi yang luar biasa dan aku sudah merasa terbang ke awang-awang dan sama sekali lupa bahwa kini sedang berada di desa. Keahlian Warni patut aku acungi jempol. Dengan halusnya dia bisa menempatkan ujung penisku ke lubang memeknya dan gerakan lembutnya membawa penisku perlahan-lahan memasuki lubang vaginanya. Aku semakin melayang menikmati gelombang birahi yang dipacu oleh olahan Warni. Dia tidak lagi memijatku, tetapi pinggulnya dia gerakkan memutar, sehingga penisku terasa seperti dibetot-betot. Aku harus akui ketrampilan Warni memainkan penis di dalam memeknya memang luar biasa. Jujur saja aku belum pernah merasakan sensasi seperti ini, walau dalam dunia perlendiran aku sudah mencapai tingkat Suhu. Air maniku seperti disedot oleh gerakan memeknya. Dia bisa membuat lubang memeknya seolah-olah vakum. Biasanya aku merasa hisapan ini jika dioral, karena memang penisku disedot. Namun kali ini vagina yang menyedot, dan nikmatnya jauh melebihi hisapan oral. Aku benar-benar tidak mampu bertahan oleh olah birahi Warni sehingga dalam waktu singkat jebollah pertahananku. Aku terpaksa mengaku kalah, karena kelihatannya dia belum mencapai orgasme. Ah apa peduliku, aku kan memang yang harus dilayani, batinku mencari pembenaran atas kekalahanku. Warni meraih tissu dan dengan hati-hati melepas memeknya dari penisku yang mulai menyusut. Dengan cekatan dia menyumpal memeknya dan beringsut keluar dari ranjang lalu jongkok dilantai. Kulihat air maniku tumpah semua ke lantai. Warni membersihkan sisa- sisa spermaku dan membersihkan lantai dari ceceran spermaku. Handuk basah yang rupanya sudah dia persiapkan digunakan untuk membasuh alat vitalku sampai bersih benar. Aku diam saja terbujur. Tubuhku lalu ditutupi dengan sarung dan Warni beranjak keluar kamar membawa handuk kecil dan tissu yang penuh dengan spermaku. Dia kembali mengenakan kemben sarungnya. Nikmat sekali permainan Warni sehingga aku benar-benar mencapai kepuasan yang luar biasa. Tidak lama kemudian warni sudah kembali sambil menenteng ember kecil dan handuk. Badanku diseka dengan handuk hangat sampai terasa minyak kelapa dibadanku hilang. Terasa segar. Warni lalu menaburi bedak talk ke sekujur tubuhku. Penisku masih tidur melemas. Warni menjalankan episode berikutnya dia berlutut diantara kedua kakiku lalu mulutnya langsung menghisap penisku yang masih kuyu. Permainan kombinasi antara hisapan dan jilatan ke sekujur alat vitalku berhasil membangunkan kembali penisku sehingga perlahan-lahan kembali mengembang. Tidak hanya penisku yang dia terapi, tetapi sampai ke lubang anusku dia jilati dengan telaten. Aku kembali merasa terbang ke awang-awang. Aku tergerak menggapai kedua buah dadanya yang montok sekali. Simpul sarungnya kulepas dan terlihatlah bongkahan tetek besar mengantung di dadanya. Aku meremasnya perlahan-lahan dan memelintir kedua putingnya yang mengeras. Mungkin puting itu adalah bagian kelemahan Warni sehingga dia mendesis ketika putingnya kupelintir perlahan-lahan. Kutarik badannya ke atas sehingga kedua buah dadanya menggelantung tepat diatas mulutku. Aku hisap putingnya sebelah kiri dan kanan bergantian. Warni makin mendesah-desah. Kubalik posisinya sehingga dia kini berada dibawah. Aku menindihnya. Tanganku menggapai belahan memeknya yang terasa berlendir. Aku mencuri-curi mencium tanganku yang terkena lendir memeknya. Tidak terasa ada bau yang menganggu. Aku menyimpulkan dia cukup pandai menjaga kebersihan alat vitalnya dan yang terpenting memeknya sehat. Dari menghisap kedua putingnya aku terus melorot kebawah menciumi perutnya yang tebal, tapi kelihatan cukup terawat karena tidak sampai membuncit dan tidak pula terlihat guratan-guratan putih seluloid. Bulu jembutnya sangat lebat, sehingga aku terpaksa menguak kedua belah bibir memeknya agar aku bisa menemukan belahan memeknya. Di dalamnya terlihat warna merah merekah. Ujung lidahku mencoba menyentuh benjolan kecil clitorisnya. Warni terjingkat ketika ujung clitorisnya tersentuh. Mulutku langsung membekap ke belahan memeknya dan lidahku beroperasi menyapu clitorisnya. Warni tanpa rasa malu merintih-rintih. Suara rintihannya pasti terdengar sampai keluar, tetapi kelihatannya dia tidak peduli. Clitorisnya makin mengeras dan mungkin makin terasa sensitif. Aku berkosentrasi menjilati seputar clitorisnya sampai dalam waktu tidak terlalu lama dia mencapai orgasme. Sekujur daging memeknya berkedut-kedut melampiaskan gelombang orgasmenya. Setelah terlihat reda, kedua jariku, jari tengah dan jari manis aku susupkan masuk ke dalam vaginanya. Aku mencari titik yang disebut Gspot. Ada bagian yang terasa lembut agak menonjol di dinding atas lubang vaginanya. Bagian itu aku raba dengan sentuhan halus berkali- kali. Mulanya tidak ada reaksi, tetapi lama-lama Warni mulai mendesis. Dia mulai merasakan nikmatnya rangsangan Gspotnya. Kedua jariku kutarik-tarik keatas seolah mengangkat badan Warni berstumpu di lubang vaginanya. Dia makin keras merintih sejalan dengan gerakanku yang makin cepat. Kedua tangannya meremas-remas sprei sampai akhirnya dia berteriak dengan mengatakan “Aduuuuuuuhhhhhh”. Bersamaan dengan itu terlihat muncratnya cairan kental dari lubang kencingnya. Sebagian mengenai mukaku. Memeknya memuncratkan cairan kental sekitar 5 kali sampai akhirnya Warni terkulai lemas. Sementara itu kedua jariku masih terbenam di dalam lubang memeknya dan tadi merasakan denyutan menjepit. Beberapa saat kemudian kuulangi gerakan kedua jariku. Warni langsung mendesis kembali dan dia tampaknya tidak mampu bertahan meredam kenikmatan dan kembali dalam waktu singkat mencapai orgasmenya. Percikan cairan kental masih ada, tetapi pancarannya tidak sejauh seperti yang pertama tadi. Aku terus melakukan berulang-ulang sampai Warni mencapai 5 kali orgasme dengan cara begitu. Dia minta-minta ampun karena rasanya lemas sekali katanya. Namun walau dia sudah minta ampun pada seranganku yang kedua, dia tetap bisa mencapai orgasme sampai akhirnya orgasme yang kelima, cairan kental itu hanya meleleh saja. Warni kelihatan sangat kelelahan. Giliranku kemudian menuntaskan permainan dengan membenamkan penisku ke dalam memeknya. Penisku bukan berukuran besar, normal-normal saja dengan panjang 15 cm. Tetapi ketika berada di dalam lubang vaginanya terasa tercengkam. Terasa sekali penisku seperti digenggam vaginanya. Denyutan otot vaginanya menimbulkan sensasi yang luar biasa. Aku tidak menyangka memek Warni yang berbadan agak subur ini bisa begini menggenggam. Meskipun memeknya becek, tetapi kesannya tetap mencengkeram dan sempit. Aku terus menggenjot dan berusaha menggerus Gspotnya di dinding atas lubang vagina. Permainanku agak lama karena di ronde kedua memang normalnya durasiku lebih panjang. Warni sudah kelojotan berkali-kali dengan orgasmenya sampai dia memohon-mohon agar aku menyudahi permainan, karena dia merasa tidak kuat lagi. Tapi permohonannya itu tidak kuhiraukan sampai akhirnya kami mencapai puncak secara bersamaan. “Ampun mas pinter sekali mainnya sampai aku lemes banget, gak tahu ini masih kuat berdiri apa enggak,” katanya. Aku membantu membersihkan memeknya dari lelehan spermaku. Setelah penisku kubersihkan juga aku berbaring disampingnya. Warni sudah lebih dulu terlelap bahkan dia mendengkur halus. Aku tidak tahu berapa lama kami tertidur, tetapi ketika sadar, kulihat diluar sudah gelap. Aku bangun untuk kembali mengenakan celana dalam, sarung dan kaus oblongku. Warni ikut terbangun kemudian dan dia kembali mengenakan kemben. Warni kelihatannya sudah segar kembali meski matanya sayu seperti terlalu lelah. Dia menawariku untuk mandi. Badanku memang terasa lengket oleh bekas keringat. Aku menyiapkan baju ganti berupa celana panjang dan kaus oblong serta handuk. Aku mendahului masuk ke kamar mandi. Ah tidak peduli apa orang bisa melihat aku di dalam mandi telanjang apa tidak. Aku santai saja telanjang dan membasahi seluruh tubuhku dengan air segar. Aku terkejut karena tiba-tiba terasa ada orang masuk kamar mandi. Ternyata Warni yang masih berkemben sarung ikut masuk. Dia melepas sarungnya sehingga ikut bugil juga. Aku yang tidak terbiasa dengan kamar mandi yang tak berpintu agak gentar juga, karena kalau ada yang melintas di depan pintu kamar mandi pasti bisa melihat kami berdua bugil. Tapi aku mencoba tidak peduli dengan rasa malu itu. Nyatanya Warni dengan santai mengambil gayung langsung membasahi seluruh tubuhnya. Dia mengambil sabun dan menyabuni seluruh tubuhku seperti dia memandikan anaknya. Penisku sempat dikocok-kocok sebentar yang masih berada pada posisi lemas. Warni tertawa lalu melanjutkan menyabuni dirinya. Aku tidak berani macam-macam di kamar mandi yang rawan ini. Jadinya aku benar-benar hanya melakukan aktifitas mandi normal. Kami selesai bersamaan dan keluar kamar mandi juga bersamaan. Bedanya aku mengenakan celana panjang seperti celana sport dan kaus oblong putih, Warni tetap dengan kemben sarungnya. Setelah bersisir sejenak aku menuju ruang tamu. Disana sudah tersedia Coffe mix hangat dan pisang goreng. Perutku memang agak lapar, setelah pertempuran dua ronde tadi. Meski tanpa dipersilakan aku gebet saja pisang kepok goreng yang masih hangat. Siapa ya kira-kira yang menyiapkan ini semua, rasanya tidak mungkin Warni, karena dia baru saja bangun dan mandi bersamaku. Belum habis aku berpikir, muncul Kardi. “ Silakan mas, seadanya saja, maklum di desa,” katanya. Dua potong pisang goreng aku lahap dan kopi susu hangat aku seruput sampai tinggal setengah gelas. Aku berdiri dan mencoba melihat keadaan di luar rumah bagian depan. Di teras rumah ada amben, atau dipan bambu. Tampaknya enak juga duduk di situ karena udara segara pedesaan. Di luar kelihatan agak gelap. Keremangan hanya karena cahaya bulan yang mungkin sedang purnama. Aku ditemani Kardi duduk sambil menghisap rokok. Kardi memindahkan kopi ku yang tinggal setengah gelas lengkap dengan pisang gorengnya. Dia bercerita bahwa dia sempat meluncur ke kota membeli sate seperti yang aku inginkan. Aku jadi merasa bersalah karena telah membuat dia bersusah payah mamacu sepeda motornya bolak-balik ke kota Blora. “ Ah gak apa-apa mas, saya sudah biasa , gak lama kok ke Blora,” katanya menjawab rasa bersalahku. Tidak lama kemudian dari dalam terdengar suara istrinya menyilakan kami bersantap malam. Makanan dihidangkan di ruang dalam. Sebuah meja makan yang menempel di dinding hanya mempunyai 3 kursi. Aku dipersilakan mengambil tempat duduk. Aku memilih yang menempel dinding. Di meja terhidang sate ayam, lalu sate kambing dan sayuran seperti sayur bening tapi bukan bayam, melainkan kangkung. Nasinya ditaruh diwadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu dan masih hangat. Kami bertiga makan bersama dan kedua anaknya ikut nimbrung. Mereka duduk di tikar sambil menonton televisi. Baru terlihat bahwa anak sulungnya ternyata cantik dan manis. Badannya khas ABG dengan tetek yang baru kelihatan masih kecil. Tidak ada kesan mereka rikuh denganku walaupun mereka tahu bahkan mendengar desahan ibunya yang aku embat tadi siang. Selepas makan kami kembali ke ruang depan meneruskan obrolan. Tapi kali ini kedua anaknya ikut nimbrung, karena katanya besok mereka libur. Ya memang benar karena besok tanggal merah hari Jumat. “Oom boleh liat HP nya,” tiba-tiba si ABG menegurku. Dia rupanya tertarik ketika aku mengeluarkan IPhone edisi terbaru. Aku sedang mengutak-atik melihat posisi ku di GPS. Aku serahkan IPhone ku. Diamati dan dibolak balik. “ Kok gak ada keypadnya oom,” katanya. “Oh ya itu memang touch screen” kataku. “Apa itu oom, ajarin dong, “pintanya sambil mendekat dan duduk menghimpitku. Aku menunjukkan berbagai feature di HP itu. Lalu aku buka game balapan mobil dan menunjukkan cara memainkannya. “ Wih asik banget lho dik katanya beranjak menjauhiku dan menunjukkan kepada adiknya. Mereka berdua lalu asyik tenggelam memainkan HPku. Ibunya berkali-kali wanti-wanti agar hati-hati jangan sampai rusak. “Diah itu lho mas, sudah lama dia minta dibeliin HP, anak sekarang kecil-kecil kemauannya udah banyak. Saya saja gak punya HP, e eh kok malah dia pengen punya HP segala, “ kata Warni. “Emangnya Diah pengen HP yang kayak apa, “tanyaku menegur Diah yang sedang asyik. Tadinya sih pengin BB Oom, tapi yang ini kok lebih keren. “Wah kalau kayak punya Oom itu nanti kalau rusak di sini gak ada yang bisa service, paling nggak mesti dibawa ke Solo, “ jawabku. “Emangnya oom mau beliin Diah HP ya Oom,” katanya setengah manja. “Boleh aja sih asal jangan yang mahal-mahal, “ kataku. “Asyik…..” katanya sambil terus bermain dengan Iphone ku. Ketika kami sedang asyik ngobrol, Diah bangkit dan langsung duduk di pangkuanku. Aku jadi serba salah pada posisi begini. Mau menolak, rasanya ngak enak, mau membiarkan juga serba salah kepada orang tuanya. “ Oom jadi belikan Diah HP, gak usah yang mahal-mahal deh buatan China juga gak apa-apa, yang penting keren,” katanya sambil menyandar. Ibunya langsung bereaksi,” nduk ngopo kok njaluk pangku karo Oom, nggak sopan ii.” “Ben wae wong Oom arep nukokno HP, yo oom yo,” katanya dengan nada manja. Ayahnya diam saja tidak bereaksi. Yang beraksi justru senjataku tertindih bokong Diah yang terasa empuk. Diah malah menarik kedua tanganku agar memeluk pinggangnya. Kemauannya kuturuti saja, sambil mengatur posisi pangkuannya agar tidak terlalu menjepit senjataku yang mulai terkokang. Senjataku mengeras diantara belahan bokongnya. Mestinya Diah merasa ada perubahan dari landasan yang diduduki, tetapi dia diam saja sambil terus melendot. Aku jadi bingung harus bereaksi bagaimana menerima suguhan ABG yang tiba-tiba berada di pangkuanku. Selanjutnya aku terjemahkan saja dialog dalam bahasa Indonesia. “ Bu malam ini aku ikut dong bobo sama oom, masak ibu saja yang keenakan, aku kan juga mau,” kata Diah. Aku terkejut dengan spontanitas Diah, sehingga tidak bisa bereaksi menanggapi pernyataannya itu. “Kamu gila apa, masih kecil mau ikut-ikutan, “ kata ibunya agak sewot. “Lho ibu dulu kan malah lebih muda dari aku sudah kumpul sama laki- laki,” kata Diah. Rupanya dia mengungkap rekam jejak ibunya yang pada umur masih sangat muda sudah menikmati hubungan dengan laki-laki. “ Kapok kamu bu, anak sekarang pinter-pinter,” kata Kardi. Ibunya memerah wajahnya, entah karena malu atau karena marah, tetapi dia terdiam sejenak. “Ah oom mu belum tentu mau bobo ama kamu, kok kamu GR,” kata ibunya kemudian. “ Mau ya oom,” kata Diah sambil menempelkan pipinya ke pipiku. Aku berpikir keras, bahwa kedepan ini kejadian diluar skenario. Jika memang aku jadi meniduri Diah, berarti dia masih perawan. Tidak pantas rasanya aku mengeluarkan duit sama besarnya dengan yang bakal kuberikan kepada ibunya. Kupikir empat kali lipat rasanya cukup memadai. Sambil berpikir begitu, senjataku makin mengeras di bawah sana. Merasa ada yang mengganjal, Diah malah menggerakkan pantatnya untuk memperbaiki posisinya agar duduknya lebih nyaman. Posisinya jadi berubah. Rasanya ketegangan batangku mengganjal persis di belahan memeknya. Pikiranku jadi kacau kalau sudah terangsang. Tiba-tiba ibunya angkat bicara. “ Ya sudah sana dulu deh kamu keluar sama adikmu, kami mau membicarakannya dulu.” Dia berdiri menggandeng adiknya. Mereka berdua sambil membawa HP ku kelihatannya berjalan meninggalkan rumah, mungkin ke rumah tetangganya untuk memamerkan HPku ke teman-temannya. Sepeninggalan Diah, Aku, Kardi dan Warni berembug. “ Gimana itu mas,” katanya bertanya kepadaku. “Aku sih monggo saja nurut keputusan keluarga kalian,” kataku dalam bahasa Indonesia campur Jawa. “Bapaknya, gimana,” tanya Warni ke Kardi. “Aku sih gak masalah, wong di kampung sini anak seumuran Diah sudah banyak yang jadi janda,” katanya pula. Dari pembicaraan itu aku menangkap mereka tidak punya alasan menolak keinginan Diah. Berarti aku berpeluang menikmati perawan. “Lha terus gimana caranya,” kata Warni yang masih diliputi kebingungan. “ Ya mbok kamu ajari, cara melayani laki-laki yang benar. Itukan lebih baik dari pada dia nanti salah dan nggak tau apa yang bakal dialami” kata Kardi. Aku tidak menyangka orang di desa yang jauh dari keramaian ini bisa berpikiran demikian terbuka. “Gimana mas,” tanya Warni ke aku. “ Bener kata suamimu, Diah kan masih hijau, dan belum ngerti, jadi dia kayaknya perlu tuntunan.” kataku. “ Lebih bagus diperawani sama si oom, daripada dia main sama orang desa yang gak jelas, emangnya kamu bisa njaga anakmu siang malam agar tidak dibujuk laki-laki kampung,” kata si Kardi. Warni terdiam, mungkin dia terpengaruh juga dengan kata-kata Kardi yang terakhir. “ Iya ya Diah akhir-akhir ini banyak teman lakinya, mondar-mandir naik motor gak jelas juntrungnya,” kata Warni. Kata kesepakatan tercapai, keluarga ini akan menyerahkan keperawanan anaknya kepadaku. Mereka sama sekali tidak menyinggung soal berapa nanti uang yang akan aku berikan kepada mereka. Masalah uang bagi orang desa seperti mereka merupakan hal yang sensitif dan membicarakannya adalah hal yang tidak sopan. Padahal aku sudah siap dengan jawaban seandainya mereka menanyakan jumlah yang akan kuberikan nanti. Warni masuk ke dalam dan tidak lama kemudian dia membawa 2 cangkir kopi. Keteganganku berangsur-angsur pulih oleh siraman kopi ke dalam tenggorongan. Entah karena kopinya memang enak, atau memang suasananya lagi mendukung, aku merasakan kopi yang dibuat Warni kali ini nikmat sekali. Aku melirik jam di tangan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tak lama kemudian muncullah dua anak itu kembali dari rumah tetangganya. Warni lalu menarik Diah kelihatannya mereka masuk ke dalam kamar. Cukup lama Warni berbincang dengan anaknya. Sulit aku tebak apa yang dibicarakan, tetapi mungkin kira-kira ya pengarahan bagaimana Diah harus bersikap ketika berhadapan denganku. Aku berdua meneruskan obrolan dengan Kardi, yang banyak mengungkap soal kawin muda di desa ini dan hamil di luar nikah. Dari dalam rumah muncul Warni yang sudah berganti busana dengan kemben sarung lalu menggandengku masuk. Sebelum masuk ke kamar aku minta izin untuk ke kamar mandi membuang hajat kecilku dan sekalian membersihkan selangkanganku dengan sabun agar baunya harum. Terus terang aku berdebar-debar juga menghadapi situasi yang tidak aku bisa diprediksi. Skenario apa kira-kira yang akan dilaksanakan malam ini di kamar. Warni masih menunggu di luar pintu kamar tidur. Ketika aku muncul dia langsung menggandengku masuk kamar. Suasana di dalam kamar sudah remang-remang. Dari luar kelambu aku menangkap bayangan Diah tidur berbujur dengan hanya mengenakan sarung. Warni menyerahkan sarung agar aku kenakan. Aku membuka semua pakaianku dan meninggalkan celana dalam saja lalu mengenakan sarung yang aku ikatkan dipinggang. Warni mengarahkan agar Diah bergeser ke pinggir. Aku diposisikan ditengah. Aku diminta telungkup oleh Warni. Dia kemudian membangunkan anaknya dan menyuruhnya menggosok punggungku dengan hand and body lotion. Warni mengajari anak gadisnya memijat bagian belakang pungungku. Dia berkali kali memberi contoh mengenai bagaimana cara memijat punggung yang benar serta urat-urat mana yang harus diperhatikan. Tangan Diah terasa kecil dan gerakannya memang belum terlalu nikmat. Setelah bagian punggung dan bahu kemudian bagian bongkahan pantat. Sarungku dipelorotkan sehingga tinggal celana dalam. Pijatan sudah meliputi kedua kaki lalu aku diminta berbalik. Bagian dada di urut pada giliran pertama. Warni memberi tahu posisi badan ketika memijat bagian dadaku Warni memberi contoh menduduki bagian vitalku. Aku merasa Warni tidak bercelana dalam, karena jembutnya terasa menggerus. Dia hanya sebentar lalu mengarahkan anaknya duduk seperti dirinya di atasku. Mulanya posisi duduk Diah masih terhalang sarung. Rupanya Warni memperhatikan posisi kain sarung Diah sehingga dia berusaha memperbaiki posisi sasrung anaknya. Kain sarung anaknya disingkap di bagian bawah ,sehinga aku merasa batangku yang masih terbungkus celana dalam menyentuh selangkangan Diah. Aku merasa Diah sudah melepas celana dalamnya, tetapi aku tidak merasa ada bulu-bulu yang menggerus tubuhku. Pijatan terus mengarah kebawah lalu ke bagian kaki. Selesai bagian kaki. Warni mengajari anaknya menarik kebawah celana dalamku. Kedua tangan mungil itu meraih kedua sisi celana dalamku dan meloloskannya dari kedua kakiku. Senjataku langsung tegak berdiri. Tangan Warni yang dipenuhi hand body menggenggam batang penis dan menunjukkan ke Diah cara merangsang penisku. Warni mengocok beberapa gerakan penisku. Aku langsung merasa kenikmatan yang tinggi. Giliran berikutnya tangan mungil Diah menggenggam penisku yang mengeras. Kocokannya belum terasa nikmat, tetapi sensasi digenggam oleh ABG menambah rangsangan. Warni memerintahkan anaknya untuk mengulum. “ Dilomot nduk,” kata Warni. Diah bingung atas perintah ibunya. Ibunya mengambil oper dan mencontohkan bagaimana mengulum batang penisku dan menjilati kedua biji zakarku dan menghisap-hisapnya. Dengan agak ragu Diah mengikuti ajaran ibunya. Kuluman mulut kecil ini meski belum mahir tetapi sensasinya yang membakar birahiku makin panas. Jilatan-jilatannya masih kaku. Aku sudah terbang ke awang- awang melihat Diah mengulum penisku dan menjilati kedua bijiku. Tapi aku masih mampu bertahan agar tidak jebol. Sekitar 10 menit mereka berdua bergantian melakukannya. Warni memerintahkan anaknya membuka sarungnya dan berbaring . Aku bangkit untuk memberi ruang di tengah ranjang. Meski penerangan remang-remang, tetapi aku bisa melihat cukup jelas seluruh tubuh Diah yang bugil. Teteknya masih kecil, mungkin baru tumbuh setahun yang lalu. Puting susunya masih sangat kecil, seperti puting laki-laki. Aku mencium bibirnya dan mengulum dan mempermainkan lidahku ke dalam mulutnya. Mulanya Diah diam saja dan kaku, tetapi tuntunan dari rangsangan birahinya kemudian dia mulai membalas ciumanku. Dia mulai beringas dan nafasnya makin memburu. Birahi Diah sudah mulai terbakar. Ini adalah hal penting yang kuinginkan, Sebab jika ABG belum bangkit birahnya, seluruh tubuhnya akan merasa geli jika disentuh laki-laki. Sehingga kalau dia belum terangsang, dia tidak akan tahan kegelian ketika aku jilati kedua puting susunya. Ciumanku lalu beralih ke telinga kiri dan kanan. Kedua simpul birahi ini akan berdampak menaikkan rangsangan. Selanjutnya lehernya dan terus ke bagian dadanya. Diah menggeliat-geliat menerima seranganku. Ketika kedua putingnya kujilati dan kuhisap pelan, Diah menggeliat- geliat. Mungkin dia menahan rasa geli dan juga merasakan nikmatnya rangsangan yang aku lakukan. Setelah puas meremas halus dan menciumi kedua susu kecil ciumanku terus kebawah dengan mampir sebentar ke seputaran pusarnya yang berbentuk indah. Giliran berikutnya adalah selangkangannya. Warni membantuku melebarkan kedua kaki Diah. Aku tidak langsung menjilat belahan memeknya. Memeknya baru berbulu beberapa lembar. Gundukan memeknya, yang dalam istilah bahasa Jawa disebut “mentul” aku sapu sekelilingnya dengan lidahku. Diah mengejang-ngejang sambil menarik dan mencengkeram sprei. Lidahku mulai menjilati belahan memeknya yang masih rapat. Diah makin menggeliat. Dengan kedua tanganku aku menguak belahan memeknya. Kelihatan celah itu sudah dibasahi oleh lendir. Baunya tidak ada, malah terasa harum wangi sabun. Lidahku memulai jilatan ke lubang vaginanya. Diah sudah makin menggeliat dan mengerah. Dia mengeluh geli. Ibunya berusaha menenteramkannya dengan ikut memegangi pinggul anaknya agar tidak terlalu banyak bergerak. Aku paham, anak seusia Diah belum terlalu siap menerima rangsangan di kemaluannya, makanya dia masih merasakan kegelian. Lidahku mulai menyapu bagian pinggir clitorisnya. Aku merasa Diah sudah cukup terangsang karena benjolan clitorisnya sudah menonjol. Kalau aku jilat langsung ujung clitorisnya Diah tidak akan mampu menahan rasa gelinya, maka aku hanya menyentuh pinggir-pinggirnya saja. Diah mengerang-ngerang nikmat dan terus bergerak dan menggeliat. Ibunya masih memegangi pinggulnya dan minta ke Diah agar jangan banyak bergerak. Mulutku sudah menangkup ke memeknya yang relatif masih gundul. Tonjolan clitorisnya makin nyata terasa diujung lidahku. Aku mulai menjilati itilnya dengan gerakan lidah menyapu ke kiri dan ke kanan. Diah makin menggila mengerang dan pinggulnya terlonjak-lonjak sejalan dengan sentuhan lidahku ke clitorisnya. Tanda-tanda bahwa Diah akan mencapai orgasmenya sudah makin jelas terasa. Dia diam sejenak, lalu tiba-tiba dia mengerang panjang dan bersamaan dengan itu seluruh bagian memeknya berdenyut-denyut. Lidahku tidak bergerak lagi, kecuali menekan lidahku agak keras ke bagian itilnya yang juga berkedut-kedut. Terasa cairan makin membanjir keluar dari celah memeknya. Mungkin dia juga berejakulasi seperti ibunya. Warni bertanya ke Diah, “ Gimana Nduk rasanya,” Diah diam sejenak. “ Nggak ngerti bu, rasane aneh banget kayak pengen pipis tapi gak bisa ditahan, tapi sumpah bu enak buanget, pantes ya ibu tadi siang ngrintih-ngrintih,” kata Diah. Warni mempersiapkan anaknya untuk aku jebol keperawanannya. Aku bangkit mengambil jeli khusus untuk melicinkan jalan masuk penisku ke lubang vagina Diah. Diah sudah dikangkang oleh ibunya dan dibawahnya dia lapisi kain putih dan di bawahnya masih ada lapisan kain batik. Aku melumuri seluruh penisku dengan jeli. Aku lalu melumasi belahan memek Diah dengan jeli sampai agak sedikit masuk ke liang vaginanya. Warni sempat bertanya apa yang aku olesi itu. Kuceritakan bahwa ini adalah cairan pelicin untuk mengurangi rasa sakit bagi perempuan yang baru pertama kali disetubuhi. Jeli memang bekal standarku seperti odol, sikat gigi dan handuk. Aku mengambil posisi duduk bersimpuh di antara kedua kaki Diah. Ibunya mengingatkan Diah bahwa untuk pertama kalinya semua perempuan akan merasakan sakit dan perih ketika penis laki-laki memasuki memek. Dia minta Diah menahan rasa sakit itu, karena rasa sakit itu hanya sebentar. Mendengar pengarahan ibunya Dia stres. Tarasa dia menegangkan otot di sekitar memeknya. Aku minta dia bersikap rileks, karena kalau ditegangkan akan terasa makin sakit. Kepala penisku aku geser- geserkan di permukaan lubang vaginanya. Aku menggeser-geserkan kepala penisku ke clitorisnya yang kelihatan agak mencuat. Hal itu rupanya bisa menaikkan lagi rangsangan ke Diah. Nafasnya kembali memburu. Cairan di belahan memeknya juga sudah mulai aktif, terlihat ada sedikit lelehan keluar dari dalam. Berarti vaginanya sudah siap diterobos. Aku menekan sedikit kepala penisku ke lubang vaginanya. Diah agak takut sehingga dia menegangkan ototnya. Aku memintanya kembali rileks. Posisiku yang bersimpuh agak kurang leluasa menekan penisku sehingga aku mengubah posisi merangkak. Warni membantuku memosisikan penisku di lubang kemaluan anaknya, sehingga aku hanya tinggal menekan saja. Terasa kepala penisku sudah menyelinap ke dalam belahan memeknya dan masuk ke lubang vaginanya. Jalannya sudah benar, tinggal meneruskan saja. Diah meringis menahan rasa perih. Aku perlahan-lahan terus menekan penisku sehingga terus maju, sampai akhirnya menemukan halangan. Penisku bisa masuk sekitar 5 cm. Terasa agak seret untuk terus maju, sehingga aku melakukan gerakan maju mundur untuk melonggarkan lubang memeknya. Setelah gerakan maju mundur terasa lancar, aku kembali menekan sampai terhalang oleh selaput daranya. Aku berhenti pada posisi itu. Selanjutnya melakukan gerakan mengejan berkali-kali. Pertama kali Diah bereaksi sakit ketika aku mengeraskan penisku. Namun selanjutnya dia tidak terlihat merasa sakit lagi. Aku terus mengejan sambil agak menekan maju. Selaput perawannya berhasil ku tembus dengan cara mengejan. Diah tidak menyadari bahwa pertahanannya sudah jebol, tetapi aku merasakannya karena terasa ada yang pecah diujung penisku. Selanjutnya ketika aku tekan, penisku terasa tidak adalagi yang menghalangi. Meski begitu aku tetap berhati- hati memajukan penisku. Aku terus melakukan gerakan mengejan sambil terus maju sedikit- demi sedikit. Teknik mengejan itu seperti membukakan jalan dan melonggarkan lubang sempit, jadi ibarat penisku menguak perlahan lahan lubang sempitnya. Penisku berhasil terbenam seluruhnya. Pada posisi itu aku kembali mengejan berkali-kali. Diah mengatakan tidak terlalu merasa sakit. Aku menarik penisku perlahan lahan lalu kudorong lagi. Begitu berkali-kali sampai terasa lubang vaginanya bisa menerima ukuran penisku dan pelumasannya sudah sempurna. Meski begitu sensasi rasa sempit lubang vaginanya masih sangat terasa. Penisku seperti dipegangi oleh vagina Diah. Aku terus memompanya dan mencari posisi yang dia rasakan nikmat. Tentunya sasaranku adalah menggerus Gspotnya. Jujur saja kalau aku tadi siang tidak bertempur, pasti sekarang aku tidak mampu bertahan. Tapi karena penisku terasa agak imum, makanya aku mampu bermain agak lama. Diah mulai mengerang-ngerang merasakan nikmatnya bersenggama. Erangannya itu membakar birahiku makin tinggi. “Aduh oomm, enaaaakk oom , aduuuuh ,” tiba-tiba dia mengejang dan kedua kakinya melingkar ke pinggangku dan seolah-olah meminta agar aku menghentikan gerakan. Aku benamkan dalam-dalam penisku dan berusaha menekan clitorisnya. Terasa denyutan di sekujur bagian dalam vaginanya. Aku tunggu sampai orgasmenya mereda. “Aneh banget enak e sampai aku lemes bu, “ kata Diah ketika menjawab pertanyaan ibunya. Warni rupanya sudah telanjang bulat. Dia berbaring di samping anaknya. Aku tidak meneruskan ronde kedua untuk Diah tetapi pindah lubang . Sebelum pindah, kain putih yang mengalasi pantat Diah aku raih dan aku bersihkan batang penisku dengan kain putih itu, Terlihat warna merah muda. Aku berpindah dan menancapkan penisku langsung ke memek Warni. Terasa lubang yang ini sangat longgar dibanding lubang tadi. Warni melawan gerakanku dengan pinggul memutar. Kosentrasiku jadi buyar, sehingga makin menjauhkan ejakulasiku. Aku minta berganti posisi, aku di bawah dan Warni bergejolak di atas. Posisi WOT ini makin memberi kemampuanku mengontrol menahan ejakulasiku. Sementara itu Warni berusaha menemukan posisi yang dia rasa paling nyaman, sehingga tidak lama kemudian dia pun ambruk dan memeknya berkedut-kedut. Kuminta Warni menungging dan aku mencoblos dari belakang. Diah memperhatikan ibunya aku entot. Warni tidak peduli ditonton anaknya dia tetap saja mengerang-erang menikmati genjotanku. Posisi ini memudahkan penisku menggerus Gspotnya sehingga akhirnya Warni kembali mencapai orgasmenya. Dia mengeluh badannya lemas sekali dan menyerah tidak mampu lagi berada di posisi WOT. Warni berbaring di samping anaknya. Aku menyaksikan dua tubuh telanjang ibu dan anak. Aku ingin menyudahi permainan ini dan untuk itu aku memilih lubang Diah. Aku pindah posisi dan mengangkangkan kaki Diah. Dia menurut saja. Perlahan-lahan kumasukkan kembali penisku ke dalam memeknya. Kali ini relatif lebih mudah karena aku juga kembali melumuri penisku dengan jeli. Tanpa halangan berarti penisku berhasil terbenam di memeknya. Sensasi memek sempit rasanya luar biasa. Aku mulai menggenjot pelan-pelan. Sudah 10 menitan aku melakukan gerakan sampai aku merasa lelah, tetapi, orgasme masih belum terasa tanda-tandanya. Dia ingin mencoba posisi WOT. Aku mengatur posisi dan penisku kembali bersarang di memeknya. Dia melakukan gerakan tidak beraturan , sampai berkali- kali penisku lepas dari memeknya. Dia menemukan posisi kenikmatannya sampai akhirnya mencapai orgasme lagi lalu ambruk memelukku. Aku balikkan tubuhnya sambil berusaha menjaga agar penisku tidak sampai terlepas. Setelah itu aku berkonsentrasi untuk meraih orgasmeku. Berkat konsetrasi dan bantuan erangan Diah orgasmeku makin dekat. Menjelang ejakulasi kucabut buru-buru lalu kulepaskan diatas perut Diah. Kuraih handuk lembab yang sudah disiapkan Warni. Dan kubersihkan sisa-sisa mani di penisku dan kubersihkan pula dua memek yang berlendir. Warni sudah terlelap dan mendengkur. Aku lalu mengatur posisi tidur dan menggeser mereka berdua agar agak merenggang. Ada celah sedikit diantara mereka aku lalu membaringkan diri. Warni dan Diah kuselimuti sarung dan aku tidur juga mengenakan sarung dengan bertelanjang dada. Kami tertidur pulas. Aku tersadar ketika mendengar kokok ayam jantan dan merasa geli di penisku. Ternyata penisku dijadikan sarapan oleh Warni. Setelah penisku tegang dia langsung mendudukiku dan mulai memacuku sampai akhirnya dia sendiri kecapean dan ambruk sambil memeknya berkedeut-kedut. Gerakan persetubuhan Warni membangunkan Diah sehingga dia menonton ibunya mengentotin aku. Setelah Warni turun dari tubuhku, Diah ikut-ikutan pula mendudukiku dan memasukkan batang penisku ke memeknya. Mungkin memeknya belum begitu siap sehingga dia agak susah dan sakit. Kuraih jeli dan kulumari memeknya dan penisku dengan jeli. Dengan begitu dia jadi mudah menyarangkan penisku ke memeknya. Diah pun menggenjot penisku sampai dia akhirnya rubuh dengan memek yang juga berdenyut. Penisku lepas dari lubangnya dan Diah berbaring disampingku. Sepeninggalan kedua lubang itu, penisku perlahan-lahan menyusut kembali. Aku tidak mau memaksakan berejakulasi lagi, apalagi diluar sudah terlihat agak terang. Warni mengajakku bangun dan juga Diah disuruh bangkit. Kami bertiga menuju kamar mandi. Kuintip di ruang tamu Kardi masih mengorok dan anaknya Herman tidur dengan hamparan tikar di bawahnya. Kami mandi bertiga dengan air dingin yang segar. Aku puas meremas tetek besar Warni dan tetek mengkal Diah. Mereka berdua bermanja-manja denganku, sambil mengocok dan sesekali menghisap penisku. Ritual mandi kami jadi agak lama karena diselingin bergantian menghisap penisku. Penisku masih terus bertahan tidak mengeluarkan sperma. Sampai akhirnya mereka bosan dan kami mengakhiri mandi yang rasanya hampir selama satu jam. Aku masuk kamar dan mengenakan pakaian training dengan celana panjang dan kaus oblong. Warni membangunkan suaminya dan anaknya. Aku duduk di amben depan sambil menghisap rokok ditemani kopi panas. Nikmat sekali rasanya hidup ini. Tidak lama kemudian Diah muncul dengan gelas kecil yang berisi dua telur ayam kampung setengah matang yang sudah digarami dan diberi lada sedikit. “Ini Oom untuk stamina kata ibu,” katanya. Kuseruput sekali saja langsung habis. Iseng-iseng kuhubungi Roso pagi itu. Dia mengangkat telepon langsung bertanya, “Gimana.” “Wah hebat aku dapat bonus malahan, “kataku. “Bonus apaan,” tanyanya penasaran. “Bonus buka segel,” kataku. “Segelnya siapa,” dia tambah penasaran “Anaknya,” kataku tenang. “Wah uedann,” jawabnya. Tidak lama kemudian Roso sudah muncul dibonceng Sastro. Kami ngobrol sampai akhirnya terhidang nasi goreng. Aku masuk ke kamar. Warni kutarik. Di dalam kuserahkan uang dua juta setengah, sambil kujelaskan bahwa yang limaratus untuk dirinya dan yang 2 juta untuk ganti keperawanan anaknya. Warni bertepuk tepuk kegirangan dan berkali-kali mencium uang yang dipegangnya lalu mencium pipiku. Aku kembali bergabung dengan Roso di depan. Di otakku sudah ada skenario baru. Aku mengajak Roso dengan pasangannya dan aku membawa Warni dan anaknya ke Solo untuk menginap semalam di kota itu. Aku ingin menikmati sensasi lain disana. Usulku itu langsung disetujui Warni dan Diah, tetapi Roso masih bingung. Aku langsung menjawab kebingungannaya, pasti soal fulus. “ Sudah semua aku yang tanggung. “ kataku Dia langsung menjawab “oke” Kami berlima sudah duduk di dalam bus yang membawa ke Solo. Di Solo aku memesan hotel terbaik di kota itu. Suite room untukku yang mempunyai conneting door dengan kamar Roso. Seharian kami jalan-jalan ke Solo dan aku masih sempat membelikan sebuah HP untuk Diah. Setelah lelah kami kembali ke hotel untuk istirahat. Kami semuanya terlelap sampai akhirnya terbangun hampir gelap. “Gimana rencananya nanti malam acaranya apa,” tanya roso yang masuk ke kamarku. “ Kita mengadakan acara tayuban yang eksotis,” kataku. Aku sudah menyiapkan lagu tayuban dan kurekam dalam Iphone ku dan ada speaker kecil yang lumayan bagus suaranya. Setelah makan malam, kami kembali ke kamar. Semua berkumpul di kamarku. Aku menjelaskan acara tayuban yang akan kami gelar. Bir sudah didinginkan di kulkas, semua sudah siap. Lampu sengaja tidak kami redupkan. Warni dan Rini yang memang ledek, langsung paham lagu-lagu yang mengumandang dari Iphoneku. Bedanya tayuban di kamar ini adalah para ledeknya harus bugil, tapi tetap mengenakan selendang. Mulanya mereka agak canggung langsung bugil, jadi mereka masih bertahan dengan celana dalam dan BH. Diah ikut serta jadi ronggeng. Ketika lagu berkumandang Rini, Warni mulai bergoyang. Diah diajari ibunya menari sambil mengenakan selendang. Rini juga hanya mengenakan celana dalam dan mini setnya. Aku dan Roso duduk di kursi hanya dengan mengenakan celana dalam. Rini mengalungkan selendang ke Roso dan Warni serta Diah mengalungkan selendangnya ke aku. Kami berlima berjoget mengikuti irama musik. Sambil menari aku dan Roso berkali-kali menggak bir sampai rasa di kepala agak nggliyeng. Aku memeluk Warni sambil berusaha melepaskan kaitan bhnya. BHnya terlepas dan kuputar-putar diatas dengan satu tanganku. Buah dadanya yang besar bergoyang goyang seirama dengan gerakan tariannya. Roso mengikuti langkahku. Dari memeluk Warni aku memeluk Diah yang badannya agak kecil lalu kutarik ke atas minisetnya sehingga menyembullah tetek kecilnya. Aku bergantian memeluk Warni dan Diah tetapi aku memeluknya dari belakang sehingga kedua tanganku bisa meremas-remas kedua tetek mereka. Puas bermain tetek aku menarik celana dalam mereka berdua bergantian sehingga keduanya bugil. Roso mengikuti, dan Rini kelihatan agak malu sehingga dia berusaha menutupi kemaluannya. Tapi itu berlangsung sebentar saja setelah Roso mengobel-ngobel memeknya, selanjutnya Rini lupa menutupi memeknya lagi. Kami lalu begrganti pasangan aku memeluk Rini dan Roso memilih memeluk Diah terlebih dahulu sambil memainkan tetek dan memek gundulnya. Kemudian dia pindah ke Warni. Tidak ada penghalang rasa malu lagi ketika celana dalamku ditarik Rini dan Warni menarik celana Roso. Penis kami berdua sudah mengacung. Warni merebut ku lalu dia memelukku lalu berjongkok di depanku dan menghisap penisku sambil terus menari. Dia lalu menarik anaknya untuk menghisap penisku juga. Roso yang juga diisap Rini ingin pula merasakan kuluman Warni. Ditariknya penisku dari mulut Rini lalu disodorkan ke Warni. Dengan sigap Warni langsung menelan penis Roso, Sementara itu aku berpindah dari kuluman Diah ke mulut Rini. Rini kusenderkan ke dinding dan satu kakinya kuangkat. Penisku kuarahkan ke memeknya dengan satu gerakan maju ambleslah penisku ke dalam memeknya. Aku menggenjotnya sebentar. Roso iri melihatku. Dia pun menyandarkan Warni lalu melesakkan penisnya ke memek Warni. Tarian kami sudah tidak karuan lagi, karena sudah tidak mengikuti irama lagu, tetapi mengikuti irama ngentot. Dari Warni Roso penasaran ingin merasakan memek kecil, dipeluknya Diah. Diah agak takut, tetapi setelah melihat anggukan ibunya dia melemas. Roso berkali-kali gagal memasukkan penisnya ke memek Diah. Mungkin karena tidak berhasil, dia memeluk Diah dan mengeretnya ke tempat tidur. Diah dibaringkan di tempat tidur dengan kaki tetap menjuntai lalu di melesakkan penisnya masuk ke memek Diah. Sementara itu penisku yang maju mundur di memek Rini dalam posisi berdiri kedua bijiku diemut Warni dan lubang matahari ku dijilatinya. Aku ingatkan Roso agar jangan sampai melepas sperma di dalam memek Diah. Dia menggangguk lalu menarik penisnya dan melepaskan semprotan spermanya ke perut Diah. Kami melakukan ritual tayuban bugil itu sampai jam 2 malam dan kami semua kelelahan. Bed cover aku gelar di lantai dan kami tidur di atasnya berlima. Sebelumnya AC sudah kumatikan sehingga kami tidak kedinginan tidur dalam keadaan bugil. Aku puas sekali malam itu bisa melakukan persetubuhan maraton berganti-ganti lubang. Keesokan paginya nafsuku sudah habis, sehingga jika biasanya bangun pagi penisku menegang, kali ini tetap lemas. Sementara itu Roso masih penasaran. Dia pagi itu melakukan persetubuhan maraton. Aku hanya duduk sambil telanjang menonton aksi life show. Setelah sarapan di hotel, kami sempat berjalan-jalan sebentar ke kota Solo. Warni, Rini dan Diah kami lepas di terminal bus . Tadi waktu di hotel mereka masing-masing sudah kusumpeli uang sejuta-sejuta. Di terminal bus masih aku kasih ongkos duaratus-duaratus. Kami kembali ke hotel untuk istirahat. Ketika kami sedang asyik, tiba- tiba no telepon Diah masuk. “ Oom ada yang ketinggalan, kami balik ke hotel lagi,” Aku menjemput mereka di Lobby dan kembali masuk ke kamar. Rupanya tas Diah tertinggal di dalam lemari. Mereka menawar pulangnya besok saja, masih ingin menginap semalam lagi bersamaku. Aku tidak kuasa menolak, selain mengiyakan saja. Aku telepon front office bahwa kamar masih diperpanjang sampai besok. Aku sudah sangat lelah sehingga minta mereka memijatiku. Awalnya memang pijat tapi berakhir dengan ngentot juga. Sampai mereka pulang aku entah berapa kali melakukan persetubuhan dengan mereka bertiga.

Baca Selanjutya...

disebuah kota

Di sebuah rumah di kota P, terdapat laki-laki muda yang masih single. Pria tersebut bernama Bonsa (samaran). Perawakannya ganteng dan berbody atletis, berkulit putih dan memiliki batang kemaluan yang besar dan panjang, dengan panjang 18 cm dan diameter 5 cm. Dia mempunyai libido sex yang tinggi, tidak jarang melakukan onani sampai setiap hari jika sedang bernafsu. Di rumahnya dia ditemani 3 orang pembatu yang masih muda dan seksi. Pembantunya semua wanita, yang pertama (dari umur), Mirna asal Malang, umurnya 25 tahun, sudah menikah (suaminya tetap di Malang) dan mempunyai dua orang anak. Walau sudah menikah, tubuhnya masih bagus, body seksi dan kulitnya putih susu. Payudaranya masih kencang, berisi, dan montok dengan ukuran 36B. Lubang kemaluannya masih rapat walau sudah pernah melahirkan 2 anak. Kedua, Marni asal Lumajang, status janda tanpa anak (cerai), umur 19 tahun, tubuhnya tinggi sekitar 175 cm. Bodynya seksi, payudaranya berukuran 36B juga tapi sudah menggantung, alat vitalnya bagus dan sedikit sudah longgar, tapi masih enak, rapih karena bulu kemaluannya dicukur habis. Ketiga, Parni asal Jember, umur 16 tahun belum menikah tapi sudah tidak perawan lagi, tubuhnya biasa dibandingkan dengan yang lain, tetapi sangat menggairahkan. Payudaranya besar berukuran 39A, kulitnya putih dan liang senggamanya masih sempit (baru satu kali melakukan hubungan sex). Hari kamis Bonsa pulang kerja lebih awal, tetapi dia sampai di rumahnya baru sore hari, karena dia tadi bersama temannya nonton film biru dulu di kantornya (ruangannya). Setelah sampai di rumah, Bonsa ingin langsung masuk kamar untuk melepaskan nafsunya yang terbendung dengan melakukan onani. Tetapi ketika hendak masuk kamar, Bonsa melihat pembantu-pembatunya bersenda gurau dengan menggenakan baju yang seksi, dengan hanya memakai rok mini dan atasannya “you can see”. Dia memperhatikan senda gurau pembantunya yang bercanda dengan memegang payudara temannya. Otak Bonsa cepat berpikir kotor, apalagi sudah dari tadi dia sedang bernafsu. Bonsa berjalan mendekati pembantunya yang berada di taman belakang, dia mengendap-ngendap mendekati Marni yang paling dekat dan membelakangiinya. Setelah dekat, dipeluk tubuh Marni yang berdiri dan langsung bibirnya bergerilya di leher Marni. “Tuannn.. lepaskan Tuan, saya pembantu Tuan..” katanya. Tapi Bonsa tetap acuh saja dan terus menciumi leher bagian belakang milik Marni, sedangkan yang lain hanya diam saja ketakutan. “Aug..!” desah Marni saat Bonsa mulai meremas payudara miliknya. “Kamu semua harus melayaniku, aku sedang ingin bercinta..!” kata Bonsa seraya melepaskan pelukannya tapi tidak melepaskan genggamannya di tangan Marni. “Tappiii… Tuuuan..” jawab mereka ketakutan. “Tidak ada tapi-tapian..” jawab Bonsa sambil kembali memeluk Marni dan mulai menciumnya. “Augghhh…” desah Marni saat tangan Bonsa menyelinap ke selangkangannya dengan mereka tetap berciuman, sementara Parni dan Mirna hanya melihatnya tanpa berkedip (mungkin sudah terangsang), tangannya pun mulai masuk ke dalam roknya masing-masing. Ciuman Bonsa mulai turun ke arah payudara milik Marni, dikecupnya payudara Marni walau masih tebungkus BH dan kaosnya, sedangkan tangan Bonsa meremas-remas susunya yang kiri dan tangannya yang satunya sudah berhasil melewati CD-nya. “Augh…” desah Marni. Dibuka bajunya dan BH-nya, “Wau besar juga susumu Mar..” kata Bonsa sambil tangannya memainkan susu Marni dan memelintir puting susunya. “Ah, Tuaaan bisaa aja, ayo dong nyusu duluuu.. augh..!” jawab Marni sambil mendorong kepala Bonsa higga susunya langsung tertelan mulut Bonsa. “Augghhh….” desah Marni merintih kenikmatan, sedang tangannya Marni masuk ke celana Bonsa dan langsung mengocok batang kejantanan Bonsa. Dijilat dan dihisap payudara Marni, tangannya meremas serta mempermainkan puting susunya, kadang digigit dan disedot payudara Marni. “Auuughhh..!” Marni berteriak kencang saat susunya disedot habis dan tangan Bonsa masuk ke liang senggamanya. Ciuman Bonsa turun setelah puas menyusu pada Marni, dijilatnya perut Marni dan membuka roknya. Setelah terbuka, terlihat paha putih dan liang senggamanya yang telah basah yang sangat membuat nasfu Bonsa bertambah. Sedangkan Mirna dan Parni sudah telanjang bulat dan melakukan masturbasi sendiri sambil melihat tuannya bercinta dengan temannya. Diciuminya bibir kemaluan Marni yang masih terbungkus CD. “Augghhh..” desah Marni tidak kuat. Karena tidak kuat lagi, Marni mendorong kepala Bonsa dan langsung menurunkan CD-nya, setelah itu didorong masuk kepala Bonsa ke liang senggamanya. “Auughhh.. ughhh…” desah Bonsa saat lidah Bonsa menjilati bibir kemaluannya. Lidah Bonsa semakin liar saja, dimasukkan lidahnya ke liang itu dan dijilati semua dinding kemaluan itu tanpa ada sedikitpun yang terlewati. Klitorisnya pun tidak ketinggalan digigit dan dijilati. “Aauuugghhh… aaggghhh..!” desah Marni. Lidah Bonsa terus menjilati bagian dalam vagina Marni. Marni mulai mengejang bagai tersambar petir jilatan lidah Bonsa. Tangannya mulai menjabak rambut Bonsa, tapi Bonsa tidak marah dan sebaliknya malah mempercepat jilatan lidahnya. “Aaggghhh… aku mau keeeluuu… uuaarrr… Tuua.. an…” rintih Marni. Dijilati terus Marni dengan lidahnya, dan akhirnya, “Crooottt… crrrooottt..!” cairan kental, panas, dan asin keluar dengan deras di lidah Bonsa, dijilati cairan itu dan ditelan Bonsa. Setelah itu Bonsa berjalan ke arah Parni yang sedang tiduran dan masturbasi. Ditidurinya langsung tubuh Marni, dicium payudaranya yang sudah mengeras. Dijilat dan digigit puting susu Parni dan Parni hanya mendesah saja, tapi tangannya masih di dalam liang kemaluannya. Sedangkan Marni masih menjilati tangannya yang habis membersihkan ciran yang keluar dari lubang senggamanya. Tangan Bonsa bergerak turun membelai semua sudut pahanya dan jilatannya mulai turun dari payudara Parni. Setelah puas menjilati bagian bawah dari payudara Parni (perut dan sekitarnya), Bonsa mulai memasukkan lidahnya ke liang kemaluan Parni yang sudah banjir. “Aaugghhh..!” desah Parni ketika lidah Bonsa menjilati dinding kemaluannya. Tangan Parni meremas susunya sendiri menahan geli dan nikmat, dipelintir-pelintir sendiri puting susunya. Lidah Bonsa ditarik keluar dan digantikan tangannya, langsung masuk tiga jari sekaligus dan mulutnya beraksi lagi di susu Parni. “Auugghhh… aaaggghh… ugghhh… ugh..!” desah Parni yang bergerak ke kanan ke kiri, menahan nikmat yang luar biasa. “Aaggghhh… Parni.., mau… keeee.. luar Tuaa.. ann..!” teriak Parni sambil memasukkan tangannya ke liang senggamanya. Dengan maksud membantu mempercepat keluar karena Bonsa mengetahui Parni mau keluar, tangan Bonsa diganti dengan lidahnya dan tangannya memelintir serta meremas payudara Parni. “Aaaghhh… Parni… keluu… uarr..! Crooottt… ccrrooottt..!” cairan panas membasahi lagi lidah Bonsa dan langsung Bonsa bersihkan serta menelannya (prinsip Bonsa menelan cairan dari kemaluan wanita adalah dapat membuat awet muda). Parni lemas sekitika, dia hanya meremas pelan buah dadanya, dan Bonsa mengecup bibir Parni. Kemudian Bonsa bergerak ke Mirna yang sedang berciuman dengan Marni temannya. Kaki Mirna sudah terbuka lebar dan terlihat lubang kemaluannya yang merah menyala, memperlihatkan banjir oleh cairan kental. Tangan Mirna terus meremas-remas payudara Marni dan demikian sebaliknya. Karena sudah terbuka kaki Mirna, maka Bonsa berlutut dan langsung menancapkan lidahnya ke liang milik Mirna. “Aggghhh..!” desah Mirna saat lidah Bonsa sudah menjilati liangnya dan juga menghisap klitorisnya. Mirna dan Marni terus berciuman, sedangkan Parni melakukan masturbasi lagi. Bonsa terus menjilati dan memasukkan tanganya ke kemaluan Mirna, dijilat dan dihisap terus sampai Mirna berhenti berciuman dan mengejang. Tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Tangan Marni meremas susu Mirna, dan mulutnya menjilati susunya yang sebelah lagi, sedangkan tangannya masuk ke kemaluannya sendiri sambil dimaju-mundurkan. “Aagh… uugghh… saya mau… keluar Tuuu… annn..!” jerit Mirna, dan Bonsa masih terus menjilati dengan cepat dan terus bertambah cepat. “Ccrrrottt… ccrroott..!” keluar cairan panas membasahi lidah dan wajah Bonsa lagi, dan seperti sebelumnya, dijilati dan ditelan cairan yang keluar dari kemaluan Mirna. Setelah selesai menjilati kemaluan Mirna, Bonsa menarik tangan Marni dan menyuruhnya berposisi nungging atau doggy style. Dipukul pantat Marni dengan batang kejantanannya dan tangannya meremas susu Marni agar membangkitkan rangsangan lagi. Setelah terlihat merekah lubang kemaluan Marni, batang keperkasaan Bonsa pun langsung ditancapkan ke vagina Marni. “Aaaggghhh..!” desah Marni saat batang kejantanan Bonsa masuk semua ke lubang senggamanya. Bonsa pun mulai memompa secara teratur dan stabil, diselingi hentakan-hentakan yang tiba- tiba,”Aaagghhh..!” desah Marni. Bonsa terus memompa dan sekarang mulai bertambah cepat, karena melihat Marni yang kepalanya mendangak ke atas dan berteriak semakin keras mengucapkan kata-kata kotor. “Agghhh… Tuan, rudal Tuan ennnakk banget… Saya mau keluar Tuuu.. an..!” teriak Marni yang malah mempercepat sodokan Bonsa ke liang senggamanya. “Aagh… saya keluu.. arrr..!” tubuh Marni mengejang dan cairan keluar membasahi batang kemaluan Bonsa, terasa panas cairan tersebut. Dan setelah selesai, Bonsa mencium punggung Marni dan berkata, “Liang kamu juga enak, kapan-kapan layani tuan lagi ya..?” Marni hanya diam berbaring di rumput dan tangannya meremas susunya sendiri. Bonsa merangkak ke arah Parni yang duduk dan sedang masturbasi sendiri, sedangkan Mirna sedang menikmati jilatan lidah Marni yang bangun lagi ke kemaluannya. Diacungkan batang keperkasaan Bonsa ke arah Parni dan disuruh memasukkan ke mulutnya. Parni langsung menyambar batang kemaluan tuannya dan mulai menjilati serta memasukkan ke mulutnya. “Aaggghhh..!” desah Bonsa, “Kamu hebat juga ya kalau ngemut beginian..!” kata Bonsa memuji hisapan pembantunya. Parni memang ahli, dia menjilat dari ujung sampai ke buah zakar tuannya, kadang dimasukkan semua batang tuannya ke mulutnya dan disedot serta dimaju-mundurkan mulutnya. Setelah puas dengan kepunyaan tuannya, Parni meminta tuannya memasukkan keperkasaannya ke lubang kenikmatannya. Bonsa berbaring di rumput dan menyuruh Parni berada di atasnya. Parni menuntun batang kejantanan tuannya ke liangnya dalam posisi dia duduk di atas tuannya. “Aggh..!” desah Bonsa dan Parni saat kejantanan Bonsa masuk ke liang Parni. Bonsa mendorong pinggulnya untuk menekan kemaluannya masuk dan Parni menggoyangkan pinggangnya agar batang tuannya bisa maraba semua bagian dalam vaginanya. Naik turun dan bergoyang memutar Parni untuk mengimbangi sodokan liar tuannya. Tangan Bonsa pun meremas susu Parni yang bergoyang mengikuti gerakan Parni. “Agghhh.. uuugggkkkhhh..!” desah Parni. Parni pun terus berteriak mengeluarkan kata-kata kotor dan mendesah ketika dia merasa sudah mau keluar. “Aaghh… ruuu.. dalll… Tuan.. enak, saya… mau.. keluarr..! Enakkk..!” Bonsa mempercepat gerakannya dan demikian juga Parni. “Croottt.. croottt…” keluar cairan panas yang kali ini lebih panas dari milik Marni ke batang kemaluan Bonsa. “Kamu hebat Parni..” kata Bonsa sambil mengecup susu Parni. “Aghh.. Tuan juga hebat, kontol Tuan enak..!” Bonsa menarik Mirna yang menjilati bibir kemaluan Marni dan digantikan Parni. Setelah mengistirahatkan kemaluannya, Bonsa menyuruh Marni menjilati dan menyedot rudalnya agar berdiri kembali. Dan setelah berdiri, maka Bonsa memasukkan batang kejantanannya ke lubang kenikmatan Mirna dalam posisi tiduran (Mirna di bawah dan Bonsa di atas menindih). “Aggghhh..!” desah Marni saat batang kemaluan tuannya baru masuk setengah. “Rapet banget lubangmu Mir..!” kata Bonsa ketika agak kesulitan memasukkan seluruh batang kemaluannya. Dihentakkan dan disodok rudal Bonsa ke pembatunya, dan secara spontan Mirna berteriak merintih kesakitan karena milik tuannya terlalu besar dan dimasukkan secara paksa. “Aaghhh.. iiighhh..!” teriak Mirna. Bonsa mendiamkan sebentar rudalnya yang telah masuk ke kemaluan Mirna. Setelah itu mulai dipompa pelan dan semakin lama semakin cepat. “Aghhh… uugghhh.. koonnn… tooolll Tuaaannn… enakkk..!” teriak Mirna saat sodokan Bonsa mulai tambah cepat dan mulut tuannya menghisap susunya. Bonsa terus menghisap dan memompa cepat rudalnya, dan Mirna mulai bergerak ke kiri ke kanan dan kemaluannya secara spontan mulai menjepit rudal tuannya yang berada di dalam sarangnya. “Aaaghhh, sayaaa… keluarrr… uughhh… ughhh..!” Mirna menjerit kencang tidak beraturan karena nafasnya mulai kehabisan menahan kenikmatan sodokan batang rudal tuannya. Akhirnya, “Crroottt.. ccrrooottt..!” keluarlah cairan panas ke kemaluan Bonsa, dan cairannya sangat banyak hingga keluar mengalir dari liang senggamanya. “Boleh juga memek kamu dan susu kamu, nanti malam ke kamarku..!” kata Bonsa setelah mengecup bibir kemaluan Mirna yang sudah banjir dan masih mengeluarkan cairan. “Ah Tuan bisa aja, memang saya hebat..? Nanti malam saya akan jadi pembatu sexxx tuan, dan saya berikan layanan super special dari memek saya ini, Tuan..” Karena masih berdiri tegak dan masih belum ejakulasi, maka Bonsa menyuruh pembantunya bertiga untuk menghisap dan menjilat kemaluannya sampai mengeluarkan sperma. Marni, Parni dan Mirna berebutan menghisap dan memasukkan batang kemaluan tuannya ke mulut mereka. Bonsa sudah merasa mau keluar dan ditariknya kemaluannya sambil mulai mengocok dengan cepat di hadapan wajah pembantu-pembantunya. “Aaaghhh..!” desah Bonsa saat dia mengeluarkan beban sex-nya yang ada di alat vitalnya. Semburan sperma tadi mengenai wajah Mirna, Parni dan Marni. Karena sperma yang dikeluarkan sangat banyak, maka sampai mengalir ke susu mereka bertiga. Bonsa menyuruh Parni membersihkan sisa sperma di batang kejantanannya dengan mulut Parni, sedangkan Parni membersihkan kemaluan tuannya. Yang lainnya menjilati dan menelan sperma yang mengalir dan menempel di mulut, wajah, dan susu mereka masing-masing. Setelah selesai, Bonsa berkata, “Kalian semua hebat dan terima kasih atas pelayanan kalian. Kalian akan mendapatkan bonusku setiap akhir minggu atau semau kalian atau saya. Dan Mirna, jangan lupa nanti malam..!” Bonsa berrjalan mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam untuk mandi. “Terimah kasih Tuan telah memuaskan kami, dan kami akan mengambil bonus Tuan.” jawab pembantu Bonsa ketika melihat tuannya masuk ke rumah. Mereka bertiga saling mencumbu, dan setelah itu masuk dan mandi bertiga. Demikianlah pengalaman sex Bonsa dan pembantunya yang masih berlangsung sampai sekarang, walaupun Bonsa sekarang sudah mempunyai istri dan dua orang anak laki-laki. Mungkin anak laki- lakinya meneruskan perilaku ayahnya.

Baca Selanjutya...

Suka dan duka PRT

Suka dan duka PRT Begini kisahku dengan majikan pertama yang kubaca lowongannya di koran. Dia mencari prt untuk mengurus rumah kontrakannya karena ia sibuk bekerja. Aku wajib membersihkan rumah, memasak, mencuci, belanja dll, pokoknya seluruh pekerjaan rumah tangga. Untungnya aku menguasai semuanya sehingga tidak menyulitkan. Apalagi gajinya lumayan besar plus aku bebas makan, minum serta berobat kalau sakit. Manajer sekitar 35 tahunan itu bernama Pak S, asal Medan dan sedang ditugasi di kotaku membangun suatu pabrik. Mungkin sekitar 2 tahun baru proyek itu selesai dan selama itu ia mendapat fasilitas rumah kontrakan. Ia sendirian. Istri dan anaknya tak dibawa serta karena takut mengganggu sekolahnya kalau berpindah-pindah. Sebagai wanita Jawa berusia 25 tahun mula-mula aku agak takut menghadapi kekasaran orang etnis itu, namun setelah beberapa minggu akupun terbiasa dengan logat kerasnya. Pertama dulu memang kukira ia marah, namun sekarang aku tahu bahwa kalau ia bersuara keras memang sudah pembawaan. Kadang ia bekerja sampai malam. Sedangkan kebiasaanku setiap petang adalah menunggunya setelah menyiapkan makan malam. Sambil menunggu, aku nonton TV di ruang tengah, sambil duduk di hamparan permadani lebar di situ. Begitu suara mobilnya terdengar, aku bergegas membuka pintu pagar dan garasi dan menutupnya lagi setelah ia masuk. “Tolong siapkan air panas, Yem,” suruhnya suatu petang, “Aku kurang enak badan.” Akupun bergegas menjerang air dan menyiapkan bak kecil di kamar mandi di kamarnya. Kulihat ia menjatuhkan diri di kasurnya tanpa melepas sepatunya. Setelah mengisi bak air dengan air secukupnya aku berbalik keluar. Tapi melihat Pak Siregar masih tiduran tanpa melepas sepatu, akupun berinisiatif. “Sepatunya dilepas ya, pak,” kataku sambil menjangkau sepatunya. “Heeh,” sahutnya mengiyakan. Kulepas sepatu dan kaos kakinya lalu kuletakkan di bawah ranjang. “Tubuh bapak panas sekali ya?” tanyaku karena merasakan hawa panas keluar dari tubuhnya. “Bapak masuk angin, mau saya keroki?” tawarku sebagaimana aku sering lakukan di dalam keluargaku bila ada yang masuk angin. “Keroki bagaimana, Yem?” Baru kuingat bahwa ia bukan orang Jawa dan tidak tahu apa itu kerokan. Maka sebisa mungkin kujelaskan. “Coba saja, tapi kalau sakit aku tak mau,” katanya. Aku menyiapkan peralatan lalu menuangkan air panas ke bak mandi. “Sekarang bapak cuci muka saja dengan air hangat, tidak usah mandi,” saranku. Dan ia menurut. Kusiapkan handuk dan pakaiannya. Sementara ia di kamar mandi aku menata kasurnya untuk kerokan. Tak lama ia keluar kamar mandi tanpa baju dan hanya membalutkan handuknya di bagian bawah. Aku agak jengah. Sambil membaringkan diri di ranjang ia menyuruhku, “Tolong kau ambil handuk kecil lalu basahi dan seka badanku yang berkeringat ini.” Aku menurut. Kuambil washlap lalu kucelup ke sisa air hangat di kamar mandi, kemudian seperti memandikan bayi dadanya yang berbulu lebat kuseka, termasuk ketiak dan punggungnya sekalian. “Bapak mau makan dulu?” tanyaku. “Tak usahlah. Kepala pusing gini mana ada nafsu makan?” jawabnya dengan logat daerah, “Cepat kerokin aja, lalu aku mau tidur.” Maka ia kusuruh tengkurap lalu mulai kuborehi punggungnya dengan minyak kelapa campur minyak kayu putih. Dengan hati-hati kukerok dengan uang logam lima puluhan yang halus. Punggung itu terasa keras. Aku berusaha agar ia tidak merasa sakit. Sebentar saja warna merah sudah menggarisi punggungnya. Dua garis merah di tengah dan lainnya di sisi kanan. “Kalau susah dari samping, kau naik sajalah ke atas ranjang, Yem,” katanya mengetahui posisiku mengerokku kurang enak. Ia lalu menggeser ke tengah ranjang. “Maaf, pak,” akupun memberanikan diri naik ke ranjang, bersedeku di samping kanannya lalu berpindah ke kirinya setelah bagian kanan selesai. “Sekarang dadanya, pak,” kataku. Lalu ia berguling membalik, entah sengaja entah tidak handuk yang membalut pahanya ternyata sudah kendor dan ketika ia membalik handuk itu terlepas, kontan nampaklah penisnya yang cukup besar. Aku jadi tergagap malu. “Ups, maaf Yem,” katanya sambil membetulkan handuk menutupi kemaluannya itu. Sekedar ditutupkan saja, tidak diikat ke belakang. Sebagian pahanya yang berbulu nampak kekar. “Eh, kamu belum pernah lihat barangnya laki-laki, Yem?” “Bbb..belum, pak,” jawabku. Selama ini aku baru melihat punya adikku yang masih SD. “Nanti kalau sudah kawin kamu pasti terbiasalah he he he..” guraunya. Aku tersipu malu sambil melanjutkan kerokanku di dadanya. Bulu-bulu dada yang tersentuh tanganku membuatku agak kikuk. Apalagi sekilas nampak Pak S malah menatap wajahku. “Biasanya orang desa seusia kau sudah kawinlah. Kenapa kau belum?” “Saya pingin kerja dulu, pak.” “Kau tak ingin kawin?” “Ingin sih pak, tapi nanti saja.” “Kawin itu enak kali, Yem, ha ha ha.. Tak mau coba? Ha ha ha..” Wajahku pasti merah panas. “Sudah selesai, pak,” kataku menyelesaikan kerokan terakhir di dadanya. “Sabar dululah, Yem. Jangan buru-buru. Kerokanmu enak kali. Tolong kau ambil minyak gosok di mejaku itu lalu gosokin dadaku biar hangat,” pintanya. Aku menurut. Kuambil minyak gosok di meja lalu kembali naik ke ranjang memborehi dadanya. “Perutnya juga, Yem,” pintanya lagi sambil sedikit memerosotkan handuk di bagian perutnya. Pelan kuborehkan minyak ke perutnya yang agak buncit itu. Handuknya nampak bergerak-gerak oleh benda di bawahnya, dan dari sela-selanya kulihat rambut-rambut hitam. Aku tak berani membayangkan benda di bawah handuk itu. Namun bayangan itu segera jadi kenyataan ketika tangan Pak S menangkap tanganku sambil berbisik, “Terus gosok sampai bawah, Yem,” dan menggeserkan tanganku terus ke bawah sampai handuknya ikut terdorong ke bawah. Nampaklah rambut-rambut hitam lebat itu, lalu.. tanganku dipaksa berhenti ketika mencapai zakarnya yang menegang. “Jangan, pak,” tolakku halus. “Tak apa, Yem. Kau hanya mengocok-ngocok saja..” Ia menggenggamkan penisnya ke tanganku dan menggerak-gerakkannya naik turun, seperti mengajarku bagaimana mengonaninya. “Jangan, pak.. jangan..” protesku lemah. Tapi aku tak bisa beranjak dan hanya menuruti perlakuannya. Sampai aku mulai mahir mengocok sendiri. “Na, gitu terus. Aku sudah lama tak ketemu istriku, Yem. Sudah tak tahan mau dikeluarin.. Kau harus bantu aku.. Kalau onani sendiri aku sudah sulit, Yem. Harus ada orang lain yang mengonani aku.. Tolong Yem, ya?” pintanya dengan halus. Aku jadi serba salah. Tapi tanganku yang menggenggam terus kugerakkan naik turun. Sekarang tangannya sudah berada di sisi kanan-kiri tubuhnya. Ia menikmati kocokanku sambil merem melek. “Oh. Yem, nikmat kali kocokanmu.. Iya, pelan-pelan aja Yem. Tak perlu tergesa-gesa.. oohh.. ugh..” Tiba- tiba tangan kanannya sudah menjangkau tetekku dan meremasnya. Aku kaget, “Jangan pak!” sambil berkelit dan menghentikan kocokan. “Maaf, Yem. Aku benar-benar tak tahan. Biasanya aku langsung peluk istriku. Maaf ya Yem. Sekarang kau kocoklah lagi, aku tak nakal lagi..” Sambil tangannya membimbing tanganku kembali ke arah zakarnya. Aku beringsut mendekat kembali sambil takut-takut. Tapi ternyata ia memegang perkataannya. Tangannya tak nakal lagi dan hanya menikmati kocokanku. Sampai pegal hampir 1/2 jam aku mengocok namun ia tak mau berhenti juga. “Sudah ya, pak,” pintaku. “Jangan dulu, Yem. Nantilah sampai keluar..” “Keluar apanya, pak?” tanyaku polos. “Masak kau belum tahu? Keluar spermanyalah.. Paling nggak lama lagi.. Tolong ya, Yem, biar aku cepat sehat lagi.. Besok kau boleh libur sehari dah..” Ingin tahu bagaimana spermanya keluar, aku mengocoknya lebih deras lagi. Zakarnya semakin tegang dan merah berurat di sekelilingnya. Genggaman tanganku hampir tak muat. 15 menit kemudian. “Ugh, lihat Yem, sudah mau keluar. Terus kocok, teruuss.. Ugh..” Tiba-tiba tubuhnya bergetar-getar dan.. jreet.. jret.. cret.. cret.. cairan putih susu kental muncrat dari ujung zakarnya ke atas sperti air muncrat. Aku mengocoknya terus karena zakar itu masih terus memuntahkan spermanya beberapa kali. Tanganku yang kena sperma tak kupedulikan. Aku ingin melihat bagaimana pria waktu keluar sperma. Setelah spermanya berhenti dan dia nampak loyo, aku segera ke kamar mandi mencuci tangan. “Tolong cucikan burungku sekalian, Yem, pake washlap tadi..” katanya padaku. Lagi-lagi aku menurut. Kulap dengan air hangat zakar yang sudah tak tegang lagi itu serta sekitar selangkangannya yang basah kena sperma.. “Sudah ya pak. Sekarang bapak tidur saja, biar sehat,” kataku sambil menyelimuti tubuh telanjangnya. Ia tak menjawab hanya memejamkan matanya dan sebentar kemudian dengkur halusnya terdengar. Perlahan kutinggalkan kamarnya setelah mematikan lampu. Malam itu aku jadi sulit tidur ingat pengalaman mengonani Pak S tadi. Ini benar-benar pengalaman pertamaku. Untung ia tidak memperkosaku, pikirku. Namun hari-hari berikut, kegiatan tadi jadi semacam acara rutin kami. Paling tidak seminggu dua kali pasti terjadi aku disuruh mengocoknya. Lama-lama akupun jadi terbiasa. Toh selama ini tak pernah terjadi perkosaan atas vaginaku. Namun yang terjadi kemudian malah perkosaan atas mulutku. Ya, setelah tanganku tak lagi memuaskan, Pak S mulai memintaku mengonani dengan mulutku. Mula-mula aku jelas menolak karena jijik. Tapi ia setengah memaksa dengan menjambak rambutku dan mengarahkan mulutku ke penisnya. “Cobalah, Yem. Tak apa-apa.. Jilat-jilat aja dulu. Sudah itu baru kamu mulai kulum lalu isep-isep. Kalau sudah terbiasa baru keluar masukkan di mulutmu sampai spermanya keluar. Nanti aku bilang kalau mau keluar..” Awalnya memang ia menepati, setiap hendak keluar ia ngomong lalu cepat-cepat kulepaskan mulutku dari penisnya sehingga spermanya menyemprot di luar mulut. Namun setelah berlangsung 2-3 minggu, suatu saat ia sengaja tidak ngomong, malah menekan kepalaku lalu menyemprotkan spermanya banyak-banyak di mulutku sampai aku muntah-muntah. Hueekk..! Jijik sekali rasanya ketika cairan kental putih asin agak amis itu menyemprot tenggorokanku. Ia memang minta maaf karena hal ini, tapi aku sempat mogok beberapa hari dan tak mau mengoralnya lagi karena marah. Namun hatiku jadi tak tega ketika ia dengan memelas memintaku mengoralnya lagi karena sudah beberapa bulan ini tak sempat pulang menjenguk istrinya. Anehnya, ketika setiap hendak keluar sperma ia ngomong, aku justru tidak melepaskan zakarnya dari kulumanku dan menerima semprotan sperma itu. Lama-lama ternyata tidak menjijikkan lagi. Demikianlah akhirnya aku semakin lihai mengoralnya. Sudah tak terhitung berapa banyak spermanya kutelan, memasuki perutku tanpa kurasakan lagi. Asin-asin kental seperti fla agar-agar. Akibat lain, aku semakin terbiasa tidur dipeluk Pak S. Bagaimana lagi, setelah capai mengoralnya aku jadi enggan turun dari ranjangnya untuk kembali ke kamarku. Mataku pasti lalu mengantuk, dan lagi, toh ia tak akan memperkosaku. Maka begitu acara oral selesai kami tidur berdampingan. Ia telanjang, aku pakai daster, dan kami tidur dalam satu selimut. Tangannya yang kekar memelukku. Mula-mula aku takut juga tapi lama-lama tangan itu seperti melindungiku juga. Sehingga kubiarkan ketika memelukku, bahkan akhir- akhir ini mulai meremasi tetek atau pantatku, sementara bibirnya menciumku. Sampai sebatas itu aku tak menolak, malah agak menikmati ketika ia menelentangkan tubuhku dan menindih dengan tubuh bugilnya. “Oh, Yem.. Aku nggak tahan, Yem.. buka dastermu ya?” pintanya suatu malam ketika tubuhnya di atasku. “Jangan pak,” tolakku halus. “Kamu pakai beha dan CD saja, Yem, gak bakal hamil. Rasanya pasti lebih nikmat..” rayunya sambil tangannya mulai mengkat dasterku ke atas. “Jangan pak, nanti keterusan saya yang celaka. Begini saja sudah cukup pak..” rengekku. “Coba dulu semalam ini saja, Yem, kalau tidak nikmat besok tidak diulang lagi..” bujuknya sambil meneruskan menarik dasterku ke atas dan terus ke atas sampai melewati kepalaku sebelum aku sempat menolak lagi. “Woow, tubuhmu bagus, Yem,” pujinya melihat tubuh coklatku dengan beha nomor 36. “Malu ah, Pak kalau diliatin terus,” kataku manja sambil menutup dengan selimut. Tapi sebelum selimut menutup tubuhku, Pak S sudah lebih dulu masuk ke dalam selimut itu lalu kembali menunggangi tubuhku. Bibirku langsung diserbunya. Lidahku dihisap, lama-lama akupun ikut membalasnya. Usai saling isep lidah. Lidahnya mulai menuruni leherku. Aku menggelinjang geli. Lebih lagi sewaktu lidahnya menjilat-jilat pangkal payudaraku sampai ke sela-sela tetekku hingga mendadak seperti gemas ia mengulum ujung behaku dan mengenyut-ngenyutnya bergantian kiri-kanan. Spontan aku merasakan sensasi rasa yang luar biasa nikmat. Refleks tanganku memeluk kepalanya. Sementara di bagian bawah aku merasa pahanya menyibakkan pahaku dan menekankan zakarnya tepat di atas CD-ku. “Ugh.. aduuh.. nikmat sekali,” aku bergumam sambil menggelinjang menikmati cumbuannya. Aku terlena dan entah kapan dilepasnya tahu-tahu payudaraku sudah tak berbeha lagi. Pak S asyik mengenyut-ngenyut putingku sambil menggenjot-genjotkan zakarnya di atas CD-ku. “Jangan buka CD saya, pak,” tolakku ketika merasakan tangannya sudah beraksi memasuki CDku dan hendak menariknya ke bawah. Ia urungkan niatnya tapi tetap saja dua belah tangannya parkir di pantatku dan meremas-remasnya. Aku merinding dan meremang dalam posisi kritis tapi nikmat ini. Tubuh kekar Pak S benar-benar mendesak-desak syahwatku. Jadilah semalaman itu kami tak tidur. Sibuk bergelut dan bila sudah tak tahan Pak Siregar meminta aku mengoralnya. Hampir subuh ketika kami kecapaian dan tidur berpelukan dengan tubuh bugil kecuali aku pakai CD. Aku harus mampu bertahan, tekadku. Pak S boleh melakukan apa saja pada tubuhku kecuali memerawaniku. Tapi tekad tinggal tekad. Setelah tiga hari kami bersetubuh dengan cara itu, pada malam keempat Pak S mengeluarkan jurusnya yang lebih hebat dengan menjilati seputar vaginaku meskipun masih ber-CD. Aku berkelojotan nikmat dan tak mampu menolak lagi ketika ia perlahan-lahan menggulung CD ku ke bawah dan melepas dari batang kakiku. Lidahnya menelusupi lubang V-ku membuatku bergetar-getar dan akhirnya orgasme berulang-ulang. Menjelang orgasme yang kesekian kali, sekonyong-konyong Pak Siregar menaikkan tubuhnya dan mengarahkan zakarnya ke lubang nikmatku. Aku yang masih belum sadar apa yang terjadi hanya merasakan lidahnya jadi bertambah panjang dan panjang sampai.. aduuhh.. menembus selaput daraku. “Pak, jangan pak! Jangan!” Protesku sambil memukuli punggunya. Tetapi pria ini begitu kuat. Sekali genjot masuklah seluruh zakarnya. Menghunjam dalam dan sejurus kemudian aku merasa memiawku dipompanya cepat sekali. Keluar masuk naik turun, tubuhku sampai tergial-gial, terangkat naik turun di atas ranjang pegas itu. Air mataku yang bercampur dengan rasa nikmat di vagina sudah tak berarti. Akhirnya hilang sudah perawanku. Aku hanya bisa pasrah. Bahkan ikut menikmati persetubuhan itu. Setelah kurenung-renungkan kemudian, ternyata selama ini aku telah diperkosa secara halus karena kebodohanku yang tidak menyadari muslihat lelaki. Sedikit demi sedikit aku digiring ke situasi dimana hubungan seks jadi tak sakral lagi, dan hanya mengejar kenikmatan demi kenikmatan. Hanya mencari orgasme dan ejakulasi, menebar air mani! Hampir dua tahun kami melakukannya setiap hari bisa dua atau tiga kali. Pak S benar-benar memanfaatkan tubuhku untuk menyalurkan kekuatan nafsu seksnya yang gila-gilaan, tak kenal lelah, pagi (bangun tidur), siang (kalau dia istirahat makan di rumah) sampai malam hari sebelum tidur (bisa semalam suntuk). Bahkan pernah ketika dia libur tiga hari, kami tidak beranjak dari ranjang kecuali untuk makan dan mandi. Aku digempur habis-habisan sampai tiga hari berikutnya tak bisa bangun karena rasa perih di V-ku. Aku diberinya pil kb supaya tidak hamil. Dan tentu saja banyak uang, cukup untuk menyekolahkan adik-adikku. Sampai akhirnya habislah proyeknya dan ia harus pulang ke kota asalnya. Aku tak mau dibawanya karena terlalu jauh dari orang tuaku. Ia janji akan tetap mengirimi aku uang, namun janji itu hanya ditepatinya beberapa bulan. Setelah itu berhenti sama sekali dan putuslah komunikasi kami. Rumahnya pun aku tak pernah tahu dan akupun kembali ke desa dengan hati masygul.

Baca Selanjutya...

cabe mahal

cabe mahal  Hai, perkenalkan.. namaku Andrew xxxxxxxxx, anak bungsu pasangan Ronny xxxxxxxxx dan Widya  xxxxxxx (samaran). Keduanya pengusaha-pengusaha senior di Indonesia. Meski terlalu kecil untuk  bersaing dengan Liem Sioe Liong atau Prajogo Pangestu, tapi kami masih cukup punya namalah di  Jakarta. Apalagi kalo di lokasi pabrik Papa di Semarang atau konveksi Mama di Tangerang.. Eh, aku lupa.  Aku biasa dipanggil Andru, tapi di rumah aku dipanggil A Bee atau Abi. By the way, sebenarnya ini adalah  kisah tahun 1990. Ya, ini adalah kisah 13 tahun yang lalu..  Tahun itu, aku baru naik kelas 2 SMP. Umurku saat itu masih 13 tahun dan akan 14 Desember nanti .  Mm.. SMP-ku dulu lumayan ngetop, sekarang ngga terlalu.. sekarang cuma tinggal ngetop mahal dan  borjunya aja. Aku sendiri termasuk yang ‘miskin’ di sana, abis aku cuma diantar jemput sama ciecie-ku  aja sedang yang laen kadang dianter jemput sama sopir pake mobil sendiri (baca: yang dikasih ortunya  buat dia)  Kakak perempuanku yang sulung, Sinta, tapi dipanggilnya Sian buat temen sekolah/kuliahnya. Cie Sian  baru-baru aja mulai kuliah. Usianya waktu itu 18 tahun. Sedang kakak perempuanku yang kedua, Sandra,  yang biasa dipanggil Sandra atau Apin, baru masuk SMA dan usianya 15. Hehehe.. kalo berangkat aku  dan Cie Pin suka nebeng Cie Sian. Tapi kalo pulang, Cie Pin naik bis sedang aku dijemput Cie Sian. Tapi  mulai kelas 2 ini aku sudah bertekat pulang naik metro mini atau bajaj sama temen-temen. Cie Sian  cuman tersenyum aja aku bilang gitu..  Cuma gara-gara naik bis itu, Tante Vi, sekretaris Mama khusus buat di rumah –dan gara-gara  kekhususannya itu kami suka ejek dia butler alias “kepala pelayan” hehehe- jadi sedikit sewot. Tapi  bagusnya, uang sakuku jadi bertambah. Katanya sih buat naik taksi atau makan di jalan kalo laper. Ya,  lumayanlah. Buat ukuran anak SMP tahun 1990, yang meskipun di sekolahan termasuk yang miskin, tapi  uang sakuku yang duaratus ribu sehari mungkin ngga kebayang sama temen-temenku yang sok kaya.  Lagian aku buat apa bilang-bilang.. kalo gini kan ketauan mana yang temen mana yang bukan.. soalnya  anak SMP ku itu dari dulunya, juga pada waktu itu, bahkan sampai sekarang. Terkenal matre.    Well, dan gara-gara kata matre itu pula yang bikin aku bisa ngeseks sama Vonny, anak kelas 3 yang  sangat cantik tapi sangat memilih pasangan jalannya itu. Juga sama mbak Maya, temen SMA nya Cie Pin.  Hehehe, untung aja Ci Pin ngga pernah tau sampe sekarang.. pasti heboh waktu itu kalo dia tahu.    Eh, tapi.. aku pertama kali ngerasain yang namanya ‘ngentot’ bukan sama mereka ini loh.. Pasti kalian  ngga pernah kebayang deh sama siapa aku pertama kali ngerasain badan cewek. Oh, bukan sama Tante  Vi tadi.. apalagi sama perek atau pelacur (itu sih jijay!.hii..) Mau tahu? Sama seorang sales promotion girl  bernama Marlena.    Ceritanya, siang-siang pulang sekolah kami iseng pengen tau seperti apa sih yang namanya Pameran  Produk Indonesia (PPI) di silang Monas. Well, kami liat-liat di sana ternyata sepi-sepi aja kecuali di  beberapa stand/gedung pameran seperti mobil. Dan di stand itulah saat itu aku tersadar sudah terpisah  sendirian dari temen-temenku.. Rese’ nih pada ngga bilang-bilang kalo kehilangan..    “Siang, Ko.. pulang sekolah ya?” seorang dara putih manis berlesung pipit dan berambut ikal sepundak  menegurku dengan senyum yang paaaling indah menawan yang pernah kusaksikan seumur hidupku.  Aku balas tersenyum pada SPG yang ramah tapi agak sok akrab itu, “Iya Cie..”, Aku panggil dia Cie sebab  jelas-jelas usianya lebih tua daripada aku, mungkin 21 atau 22 tahunan. Aku kan masih 13 tahun dan  pasti keliatan karena aku kurus, kecil, pendek, dan masi pake celana SMP..    Ciecie itu tertawa sumringah, “Ih, kamu ini pasti langsung kemari abis sekolah.. bandel, ya?!” candanya  dengan senyum menggoda. Aku terkekeh juga, meski rada keki dibilang bandel, “Emang iya. Tapi aku  kan udah bilang Cie Sian mau kemari..”, Ciecie itu tersenyum ramah, “Ciecie kamu umur berapa?”,  “18..”, jawabnya.    Dia tersenyum, “Mmh ya bolehlah.. berarti kamu ngga kelayapan..”  Aku tertawa, “Hehehe ciecie bisa aja.. “  Lalu aku menudingnya, “Ciecie ini namanya siapa?”  Dengan gaya bak peragawati, dia membetulkan posisi nametag-nya yang miring sehingga dapat jelas  kubaca, “M-a-r-l-e-n-a.. Namanya cantik, Cie..”  Dia tersenyum, “Aduh makasih banget, tapinya ngga ada recehan nih.. pake brosur aja ya?”  Aku tersenyum dan mengambil juga brosur yang ia tawarkan.  “Wow, ni mobil keren juga, nih..” aku sampai bersiul terkagum-kagum pada barang dagangannya.. (well,  saat itu teknologi DOHC baru pertama kali muncul di Indonesia.. wajar dong kalo aku saat itu kagum  berat..)  “Iya, dong.. siapa dulu yang jualan” katanya tersenyum sambil menepuk dada.    Dan saat itulah aku mulai memperhatikan baju kausnya ketatnya yang menonjolkan buah dadanya yang  lumayan besar.. hmmm.. dan rok mininya yang ketat tipis sepaha itu, seolah-olah bila kakinya terbuka  sedikit lebih lebar maka aku dapat melihat celana dalamnya.. Maka tidak usah ditunggu lagi, aku segera  mengikuti kemanapun ia bergerak menerangkan presisi dan kemampuan mobil itu, sambil bersyukur  jadi orang pendek.    Hehehee.. Beneran deh, dengan tinggiku saat itu yang 134 cm, kalian seolah-olah bisa mengintip isi rok  mini Cie Lena yang tingginya 170 cm lebih dan pake sepatu hak tinggi pula. Makanya aku tidak menyia- nyiakan kesempatan untuk duduk di dalam mobil sementara ciecie itu menjelaskan dari luar dengan  sebelah kaki menginjak sandaran kaki..  Tapi aku yakin mukaku menjadi kemerah-merahan, sebab ciecie ini dari tadi bagaikan tertawa maklum  dan betul-betul sapuan matanya menyapu wajahku terus-menerus.. sampai tiba-tiba aku bagai tersadar  dari lamunan..    “...gimana? udah keliatan belon?”  aku terkaget-kaget di tempat duduk menatap wajahnya yang tersenyum manis, “apanya, nih?”  dia tersenyum lalu gerakan matanya menunjuk arah diantara kedua kakinya yang membuka sambil  berkata pelan, “..celana dalemnya ciecie..“    nah, kebayang kan gimana malunya dan merahnya mukaku saat itu ditembak langsung begitu.. untung  dia ngomongnya ngga kenceng. Lalu dia mendekatkan diri padaku dan berkata, “dari tadi ciecie liat  kamu berusaha liat dalemannya ciecie, jadi tadi ciecie sengaja angkat kaki sedikit biar kamu engga  penasaran.. udah liat, kan? Ciecie pake warna coklat muda..”. Aku yakin mukaku semerah kepiting  rebus. Tapi Cie Lena tersenyum maklum dan membimbingku bangkit dari tempat duduk sopir dan  berkata keras, “Ikut Ciecie ya Ko kecil.. Ciecie akan kasi liat kemampuan ini mobil supaya bisa bilang- bilang sama Papa, ya?”    Dan seorang pria muda berdasi yang berdiri tidak jauh dari kami tersenyum lebar mendengar ucapannya  itu sambil mengacungkan ibu jari. Tapi kulihat Cie Lena cuek aja, malah mengerdipkan sebelah matanya  padaku.  Kami menuju pelataran parkir luar dimana sebuah mobil serupa dipamerkan –dan nampaknya bisa  dicoba. Cie Lena memintaku duduk di depan sedang dia sendiri menyetir.    Gugup juga aku waktu liat dia di kursi sopir duduk agak mekangkang sehingga dengan rok mini super  pendeknya aku tahu pasti terdapat celah terbuka yang bila aku duduknya maju sedikit pasti aku bisa  melihat.. ehmm.. anunya... yang katanya coklat muda itu..    Cie Lena tertawa geli melihatku rada panik. Melajukan mobil keluar kompleks silang Monas, ia berkata,  “Nah sekarang kamu bisa liat celana dalam Ciecie puas-puas tanpa perlu takut ketauan..”  Aku sangat malu. Tapi aku tidak bisa menahan diriku untuk menyandarkan kepalaku ke dashboard  sehingga bisa mengintip sesuatu diantara kedua paha mulus ciecie ini..    Dia tersenyum, “Namamu siapa sih, Say?”  “A Bee.”  Dia tersenyum, “Nama yang bagus.”  Lalu dia menoleh menatapku sebentar, “Kamu belum pernah liat cewek telanjang ya, Say?”  Aku menggeleng pelan.  “Pengen tau, ya?” dia tersenyum, ”Pasti pernah nyoba ngintipin ciecie-mu ya?”  Kali ini aku mengangguk pelan.  Dia tertawa.  “Mau liat Ciecie telanjang ngga, Say?”  Aku cuma bisa menelan ludah gugup. Ciecie seseksi ini mau telanjang di depanku?  Dia tersenyum, “Tapi Say, Ciecie boleh minta duit kamu sedikit ya? Ciecie perlu bayar uang kuliah sama  beli buku nih..”  Aku masih terdiam membayangkan dia telanjang di depanku.. Waaah, pasti di antara kakinya itu ada...  “Kamu boleh liat badan Ciecie semuanya, Say..” katanya memutus lamunanku, “Ciecie sayang sama  kamu, abis kamu imut sih..”  “Ciecie emang butuhnya berapa duit?” aku memberanikan diri bertanya.  Dia tersenyum dan jarinya menunjuk angka 1..  “I Pay..”  Cuma segitu? Yah, kalo cuma segitu sih.. uang sakuku sehari juga lebih dari itu.. Aduh, dengan uang  segitu, dia mau telanjang di depanku supaya dia bisa kuliah..  “Cie..” kataku nekat, gejolak di kepalaku sudah memuncak di napas dan kontolku nih..  “...tapinya aku boleh cium Ciecie, ya?”  Cie Lena agak kaget, aku terlalu polos atau kurang ajar, ya?  Tapi dia tersenyum.  “Makasih, A Bee Sayang..”    Lalu, Cie Lena mengarahkan mobil contoh itu ke sebuah tempat di Kota (aku ngga tau namanya, waktu  itu kami kan tinggalnya di Pondok Indah sedang sejauh-jauhnya aku main kan cuma di Blok M). Ia  memasukkan mobil ke garasi sebuah rumah kecil di pemukiman yang padat dan jalannya ampun deh  jeleknyaa..    Lalu Cie Lena menyilakan aku keluar. Sempat kulihat ia tersenyum pada seorang Empeh-empeh yang  lewat, Kudengar ia membahasakan aku ini adik sepupu yang hari ini dititip karena orang tuanya sedang  pergi. Wah, kalau sampe sebegitu-begitunya, ini pasti beneran tempat tinggalnya.. Lalu aku  mengikutinya masuk ke dalam rumah itu. (Hihihi aku perhatikan ia mengambil anak kunci pintu depan  dari balik keset.. Kalo aku maling, habis sudah isi rumah ini..)    “Ini kontrakan Ciecie..” katanya sambil menunjuk ke ruangan dalam, “Ciecie tinggal berempat di sini.”  “Yang lainnya kalo ngga kerja ya kuliah..” katanya saat aku bertanya mana yang lain.    Ia membuka kamarnya dan menyilakan aku masuk sementara ia ke ruangan lain –mungkin mengambil  minuman. Aku perhatikan kamarnya sangat rapi, mirip seperti kamarnya Ci Sian. Bedanya hanya buku- buku kuliahannya sangat sedikit sedang di kamarnya Ci Sian kemanapun kita memandang isinya buku...  Ah, Ciecie ini memang butuh bantuan banyak.    Lalu Cie Lena datang membawa minuman. Tersenyum ramah. Meletakkan gelas di meja belajarnya lalu  mengunci pintu dan berdiri bersandar di pintu sambil memandangiku. Aku duduk di kursi belajarnya,  setengah gugup. Habis ini, aku akan melihat cewek bugil asli-aslian di depanku.. Nampaknya dia sangat  mengerti kegugupanku karena ia lalu berjongkok di sampingku dan memelukku erat-erat. Menciumku  pelan. Lalu berkata, “Udah siap liat bodi Ciecie?”, Aku mengangguk perlahan. Dia tersenyum dan berdiri  sambil membelai pipiku. Ia mulai berdiri menjaga sedikit jarak agar aku bisa melihat semua dengan jelas.    Sebetulnya kalo dipikir-pikir saat itu ia melakukannya dengan cepat, kok.. Tapi dalam tegangku, semua  gerakannya jadi slow motion. Ia mulai dengan membuka kaus ketat tipisnya. Melemparnya ke tempat  tidur. Tersenyum lebar, ia menepuk perutnya yang putih kecoklatan itu sambil membuat gerakan  menciumku.. Lalu ia menarik sesuatu di belakang rok mininya sehingga terjatuh ia menutupi jemari- jemari kakinya menampakkan celana dalam coklat muda yang tadi ia katakan..    Sampai di sini, aku tidak kuat duduk.. batang kontolku menegang dan sakit kalo aku tetap duduk. Ia  malah mendekat dan memelukku. Mmmmhhh.. meski jadi sedikit sesak napas, tapi aku sangat senang..  wajahku kini terbenam di antara belahan buah dadanya.. sedang perutnya menempel pada dadaku.. Oh,  aku tentu saja balas memeluknya.. dan terpeluk olehku pinggul dan pantatnya yang sekel itu.. Dan saat  terpegang olehku celana dalamnya, spontan aku masukkan jari-jariku ke dalamnya, membuatnya  menjerit kecil.. “Aih.. ngga sabaran banget sih Ko kecilku ini..”    Spontan ia melucuti celana dalamnya lalu mengangkat kaki kirinya memeluk pantatku sehingga rambut  tipis jembutnya menggesek-gesek perutku.. Aduh ciecie ini.. aku kan pengin liat.. Tapi ia menciumku di  pipi dan membimbingku ke cermin yang tertempel di lemarinya memperlihatkan seluruh badan  telanjangnya kecuali di sekitar tetek itu.. Aku mengerti. Aku ke belakangnya dan membuka kaitan BH  nya sehingga nampak juga akhirnya puncak gunung yang coklat muda indah itu.. membuatku segera  menarik tubuhnya menghadapku.. dan mulai meremasinya buah dada itu.. Ia sedikit melenguh dan  terduduk di kursi.. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sehingga dadanya membusung sedang  posisi pinggul dan otomatis memeknya tersodor bagai ingin disajikan.. Aku ciumi teteknya itu lalu aku  hisap kuat-kuat membuatnya menggelinjang sampai akhirnya dengan satu sentakan ia mendorongku  jatuh ke tempat tidurrnya..  Ia bangkit berdiri setengah membuka pahanya sambil bertolak pinggang menonjolkan dadanya yang  masih mancung dan ranum itu..    Aduh aku ngga kuat lagi. Aku buka celana ku sehingga batang kontolku mencuat keluar dengan bebas  mengambil posisi tempur.. kucopot juga bajuku sehingga tinggal singletku. Sementara itu ia hanya  tersenyum saja.  Lalu ia memegang kontolku, yang segera saja semakin tegang dan membesar..  “Aduh si Ko kecil ini..” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Udah kerangsang, ya?”  “Iya, cie.. “  Dia cuma tercekikik, dengan genggamannya menahan kulit kulup ku agar tidak menutupi kepala  kontolku, ia menotol-notolkan telunjuknya pada kepala kontolku.. dan setiap kali jarinya menyentuh  kulit kepala kontolku, setiap kali itu aku merasa tersetrum oleh rasa geli-geli yang aneh..  “Hhhh..,” aku sampai mendesah kenikmatan, “Cie, ‘maen’ yuk?”  Dia menatapku geli..  “Maen petak umpet?”  Aku menggeleng tak sabar, “Bukaan. Kayak yang di film-film..”  “Film apa? Donald Duck?”  “Be Ef, Cie.. Ngentot..” akhirnya keluar juga kata itu dari mulutku..  Tapi dia malah menowel hidungku, “Anak bandel, ya? Kecil-kecil udah nonton BF. Kamu udah pernah  ‘maen’, ya? sama siapa?”  Aku menggeleng pelan, “Nonton doang. Pengen sama Ciecie..”  “Tapi ciecie mana puas ‘maen’ sama kamu. Kamu kan masih anak kecil..”  Lalu dia menunjuk burung-ku  “Punya kamu itu kekecilan. Lagian kamu orang kan belum pernah ‘maen’, belon tau harus ngapain..”  Adduuuh.. aku udah kepengen banget niih..  “Cie Len.. boleh dong, ya?.. aku kasi Ciecie tiga ratus deh..” aku merengek..  Dia malah tertawa, “Kamu ini mesti anak orang super kaya.. buang duit kayak buang sampah..”  Adduuuuh.. tolong Cie.. cepet dong..  Dia lalu mencium bibirku sehingga batang kontolku tak urung menyentuh daerah sekitar pangkal  pahanya..  “Duit segitu itu separuh uang kuliah Ciecie satu semester, tau nggak?!”  Adduuh Ciecie ini gimana sii.. aku udah ngga tahan niii..  “Cie Len.. ayo dong Cie..”  Cie Lena menghela napas panjang, lalu menatapku sambil menggigit-gigit bibirnya sebelum akhirnya  berkata “Sebetulnya Ciecie ngga pengen begini. Tadinya niat Ciecie sama kamu tuh cuma telanjang aja..”  “Tapi Ciecie memang butuh uangnya..“  Lalu ia menghela napas panjang lagi, “Tapi kamu ini masih anak kecil. Ciecie ngga mau ngerusak kamu..”    Aku menatapnya protes. Ia pasti melihat tatapan protesku, tapi ia nampak berpikir keras. Tapi akhirnya  ia menggelengkan kepala lalu mencium bibirku. Lalu tubuh telanjangnya itu menelungkup menindih  tubuh telanjangku..Ia menciumiku sementara tangan kirinya menyentuh-sentuh kepala kontolku dan  ampun deh rasanya luar biasa.. (ternyata butuh beberapa tahun kemudian baru aku sadar kalo orang  belum pernah kepegang cewek, cukup disentuh kepala kontolnya rasanya sudah selangit..)    Aku meronta, menggelinjang keenakan.. sekaligus tidak puas.. aku ingin ngentot! Dan akhirmya ia  memenuhi keinginanku.. ia menjejakkan kaki kirinya di atas ranjang sedang kaki kanannya di lantai,  dalam posisi setengah berlutut sehingga kepala kontolku (yang mungkin masi terlalu kecil buat dia  karena usiaku toh juga masi kecil) sedikit melesak di antara dua bukit berhutan jarang itu.. Lalu.. ia  menekan pantatnya sedang ia membusungkan dadanya dan mendongak sehingga pandanganku hanya  berisi payudara dan puting susu kecoklatannya itu.. plus bonus ujung hidungnya..    Slepp.. nampaknya kepala kontolku sudah mulai melesak masuk.. Ia lalu mengambil posisi berlutut,  kedua lututnya tertekuk di atas kasur dan pinggulnya menindihku.. Lalu ia sekali lagi mendesakkan  pinggulnya.. Bless.. akhirnya masuk juga.. Aku terpesona merasakan gesekan kontolku dengan dinding  dalam memeknya.. Ia tersenyum lagi. Lalu mulai menggoyang-goyangkan pantatnya.. membuat sensasi  luar biasa pada setiap gerakannya yang membuat kontolku bergesekan dengan dinding memeknya..  Ohhh.. hhhh.. Badanku rasanya pelan-pelan terbakar oleh perasaan geli-geli yang menjalar yang dingin..    Lalu ia semakin mempercepat gerakannya. Membuat jalaran geli tadi semakin melebar ke seluruh  permukaan kulit tubuhku dan pada saat nampaknya tak tertahankan lagi.. tiba-tiba..  Srrr.. srrr.. srrr.. kurasakan aku ‘kencing’ dan perasaan geli itu mulai menguap meninggalkan bekas  bergetar dingin pada sekujur badanku.. Gerakan Cie Lena berhenti.. Kontolku sudah terlalu lemas  sehingga tidak dapat bertahan lebih lama dalam liang memeknya.. Cie Lena memelukku sekali lagi..  Menciumku..    “Gimana, Bee..? Kesampaian, ya..?” katanya dengan senyum menggoda..  “Enak kan ‘maen’ sama Ciecie..?”  Aku.. aku tidak dapat menjawab. Aku menutup mataku saja sambil tersenyum lebar..  Dan aku pikir dia puas dengan jawaban itu. Soalnya dia mulai menciumku dan memainkan burungku  sekali lagi dengan jemari lentiknya...    Ah.. Cie Lena.    Sekarang ini, 13 tahun kemudian, dia masih belum menikah dan kini bekerja sebagai karyawanku di  sebuah kawasan perkantoran di xxxxxxxx.. Ya tentu saja kami masih sering melakukannya. Tapi mungkin  tidak terlalu sering karena kami masing-masing sudah punya pacar. Hanya saja, ketika kenangan atau  gairah itu datang, sedang pacarku tidak ada di tempat, aku tahu ke mana aku bisa menyalurkan  hasratku..    Ah, masa lalu memang indah.. 

Baca Selanjutya...